Cari Blog

Sunday, June 27, 2010

SEJUMLAH REFLEKSI TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL-KEAGAMAAN KITA SAAT INI

SEJUMLAH REFLEKSI TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL-KEAGAMAAN KITA SAAT INI

Oleh Ulil Abshar-Abdalla


Berkebalikan dari diagnosis sejumlah sarjana modern selama ini, daya tahan agama dalam masyarakat modern ternyata jauh lebih kuat dan kenyal ketimbang yang disangkakan sejauh ini. Tesis sekularisasi yang selama ini kita kenal, yakni, bahwa makin modernisasi berkembang jauh dalam suatu masyarakat, agama akan makin tersingkir jauh dari lanskap kehidupan sosial, pelan-pelan dibuktikan salah oleh perkembangan sosial akhir-akhir ini. Alih-alih agama tersingkir dari gelanggang kehidupan umum, ia justru bangkit kembali dan menampakkan vitalitas yang jauh lebih kuat akhir-akhir ini. Di hampir seluruh sudut dunia saat ini, kita menyaksikan kembalinya agama, entah dalam bentuknya yang tradisional sebagai sebuah spiritualitas yang terlembaga, atau dalam bentuknya yang baru sama sekali, yakni spiritualitas yang tak terlembaga. Entah dalam bentuknya yang bersifat khusus, yaitu agama sebagai sebuah tindakan “belonging” (yakni, menjadi anggota dalam komunitas tertentu), atau yang bersifat umum, yaitu agama sebagai sebagai tindakan “believing” (yakni, iman yang tanpa disertai dengan keanggotaan dalam komunitas tertentu), agama telah mununjukkan daya hidupnya kembali dan hadir secara persisten dalam masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi begitu jauh.

Saat ini, kembalinya agama dalam gelanggang sosial-politik modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Ketimbang mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan” lama dan berharap agama bisa dipaksa kembali masuk ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum, lebih baik kita menghadapi fenomena ini dengan sikap positif tetapi sekaligus juga kritis. Positif, dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin lagi ditolak lagi, seraya mengusahakan agar kembalinya agama itu tetap sinkron, dan tidak antagonistik, dengan format kelembagaan sosial-politik yang sudah menjadi hasil konsensus sosial bersama. Kritis, dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, fenomena kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif. Di sana, ada ekses-ekses negatif yang menyertainya. Hal semacam ini disadari bukan saja oleh mereka yang skeptik pada agama, tetapi mereka yang justru bertanggung-jawab atas kebangkitan itu. Seorang ulama yang selama ini dianggap sebagai “ideolog” dan pemikir penting di kalangan generasi baru Muslim yang lahir dari fenomena kebangkitan agama ini, yakni Dr. Yusuf Qardlawi, bahkan sejak dini sudah mengingatkan adanya ekses-ekses negatif dari fenomena kebangkitan agama ini.

Dengan sikap positif dan sekaligus kritis ini, saya mengajak anda sekalian untuk melakukan refleksi atas sejumlah gejala kebangkitan agama di masyarakat kita saat ini, apa dampak positif yang bisa muncul dari sana, apa ekses negatif yang harus dihindari, dan apa sumbangan yang bisa kita harapakan dari fenomena itu untuk memperkuat proses konsolidasi demokrasi yang sekarang sudah berlangsung di tanah air ini. Saya juga ingin mengajak anda sekalian untuk menelaah dengan cermat sejumlah variasi-variasi dalam gejala kebangkitan agama ini. Apa yang saya sebut sebagai fenomena kebangkitan agama ini bukan semata-mata kebangkitan agama tradisional dalam bentuk menguatnya lembaga-lembaga keagamaan yang dulu ada, lalu sempat memudar sejenak karena proses-proses modernisasi di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kembali muncul ke permukaan. Apa yang saya sebut dengan kebangkitan agama ini mengambil bentuk yang bermacam-macam, dan sebagai fenomena sosial, ia jelas sangat rumit. Salah bentuk kebangkitan itu bukan saja munculnya kesadaran “primordial” untuk mengikatkan diri kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan yang sudah ada, tetapi juga usaha untuk menafsirkan kembali agama dalam semangat yang lebih sesuai dengan perkembangan yang ada. Dengan kata lain, kebangkitan agama bukan saja mengambil bentuk-bentuk yang selama ini sudah kita kenal, yaitu bentuk tradisionalisasi (yakni, kebangkitan dalam bentuk kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan tradisional yang ada – misalnya, kembalinya praktek-praktek ritual lama ke tengah-tengah masyarakat kota, seperti tahlil, pembacaan barzanji, ratib, atau salawat), dan revivalisme (kembalinya agama dalam bentuk ideologisasi agama sebagai landasan untuk perjuangan politik). Sekali lagi, kebangkitan itu tidak saja mengambil dua bentuk di atas, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang lebih rumit, yakni munculnya praktek-praktek spiritualitas baru yang berbasis pada spritual yang sudah ada, atau bentuk lain yang selama ini menjadi bahan kontroversi di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu gerakan “reformasi dari dalam” (reform from within). Munculnya pemikir dan teolog Muslim kritis yang mencoba melakukan pembacaan ulang atas tradisi Islam lama di dalam kontek perubahan yang ada, menurut saya, adalah bagian dari kompleksitas fenomena kebangkitan Islam itu. Dengan kata lain, munculnya corak-corak pemikiran baru seperti Islam liberal dan Islam progresif dengan selurh varian pendekatannya yang beragam adalah bagian dari fenomena kebangkitan tersebut. Upaya sebagian sarjana, pemikir dan aktivis Muslim untuk menghadapkan tradisi Islam dengan perkembangan modern di bidang teori-teori filsafat dan ilmu sosial mutakhir adalah bagian dari bentuk kebangkitan itu.

Saya ingin melihat kebangkitan di sini dalam dua arahnya sekaligus. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk “kembali” kepada apa yang sering dianggap sebagai masa lampau yang “pristin”, suci dan asli, atau kepada suatu Tradisi dengan “T” besar yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Baik salafisme yang menoleh ke belakang, atau “khalafisme” atau kontekstualisme yang melihat saat ini dan ke depan adalah dua bentuk kebangkitan Islam yang sah. Kesalahan fatal, entah di antara pengamat Islam atau aktivis Muslim sendiri selama ini adalah meninjau kebangkitan Islam semata-mata dari aspek “kembali ke masa lampau”. Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran. Sementara itu gerak yang mengarah ke masa kini, meninjau kembali ajaran-ajaran agama dalam terang zaman ini, tidak dianggap sebagai bagian dari kebangkitan agama, bahkan dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”. Anggapan semacam ini jelas sama sekali kurang tepat.

Saya melihat bahwa baik salafisme dan khalafisme, baik gerak menoleh ke masa lampau atau melihat masa sekarang, harus berjalan bersama-sama secara simultan. Di sinilah, saya ingin mengemukakan sejumlah kekurangan yang mendasar dalam salafisme. Sebelum saya bergerak lebih jauh, saya ingin mendefinisikan salafisme bukan semata-mata sebagai gerakan yang kembali kepada Quran dan sunnah yang cenderung menjauhi tradisi mazhab. Salafisme saya mengerti secara lebih luas sebagai gerakan untuk kembali ke “teks lampau”, baik dalam bentuk Quran, sunnah, tradisi para sahabat atau sesudahnya, atau pun teks-teks para pendiri mazhab yang sudah kita kenal selama ini – Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Baik gerakan yang semboyannya adalah kembali kepada Quran dan sunnah, seperti gerakan Wahabisme, atau salafisme moderat ala Muhammad Abduh, atau gerakan kembali kepada tradisi mazhab seperti tercermian dalam kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama, secara umum ingin saya golongkan kedalam arus besar salafisme. Saya tahu, penggolongan semacam ini boleh jadi akan ditentang oleh kelompok tertentu yang melihat itu sebagai generalisasi yang bermasalah.
Tanpa mengingkari sejumlah sumbangan positif yang dibawa oleh gerakan salafisme selama ini, antara lain semangat untuk kembali secara konsisten kepada Quran dan sunnah (ide yang tidak seluruhnya salah, sebetulnya, bahkan merupakan imperatif yang tak bisa ditolak oleh semua umat Islam), ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya; suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami ulang. Para juris atau ahli hukum Islam dengan baik merumuskan hal ini sebagai “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminat wa al-amkan,” perubahan hukum karena perubahan konteks spatio-temporal. Prinsip hukum yang sangat baik ini, sayangnya, tidak diterapkan secara konsisten dan komprehensif oleh para sarjana Islam sendiri.

Memang yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah: apakah teks “suci”, yaitu Quran dan sunnah, juga harus dipahami ulang jika keadaan berubah? Bukankah dua teks itu merupakan fondasi pokok keberagamaan seorang Muslim? Bukankah kita harus tunduk kepada keduanya tanpa sikap “reserve” apapun sebagaimana menjadi tuntutan dalam sebuah ayat yang terkenal dalam Surah al-Ahzab (QS 33:36)? Tentu saja, pemahaman atas teks suci itu harus terus berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan masyarakat yang juga terus berubah. Yang menjadi masalah adalah adanya kecenderungan yang makin kuat di tengah-tengah masyarakat kita di mana teks Quran dan sunnah diapandang sebagai “penyetop perbincangan”, conversation stopper. Ini adalah gejala yang jelas berhubungan dengan mind-set yang berkembang kuat di kalangan salafisme, yakni, bahwa Quran dan sunnah menjadi “palu” terakhir yang menentukan kata putus dalam segala masalah. Begitu Quran dan sunnah mengatakan A, maka dengan sendirinya seluruh perdebatan dan perbincangan akan selesai. Oleh karena itu, kita sering melihat suatu pemandangan yang sangat umum di kalangan umat Islam di mana semua pihak berlomba-lomba memeragakan kutipan dari Quran dan sunnah, seolah-olah kutipan itu akan menyelesaikan diskusi yang sedang berlangsung. Kecenderungan menjadikan Quran dan sunnah sebagai “penghenti perbincangan” ini sama sekali bukanlah perkembangan yang sehat.

Bahwa Quran dan sunnah menjadi fondasi keberagamaan seorang Muslim, jelas tidak bisa kita sanggah. Kita semua, sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan “ummah”, tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. Masalahnya bukan di sana, tentunya. Sumber otoritatif itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang dengan mind-set salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak tafsir, mereka berusaha untuk meredam multisiplitas teks suci dengan cara menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam. Mentalitas penyeragaman inilah yang mendasari cara berpikir kaum salafis di mana-mana. Dari sanalah kita bisa memahami kenapa timbul usaha-usaha untuk menegakkan semacam tafsir tunggal yang dianggap paling absah yang dipertahankan kerapkali “at all cost”. Tafsir-tafsir yang menyimpang dari tafsir-tunggal-absah itu dianggap sebagai sesat dan harus disingkirkan sebisa mungkin.

Kelemahan kedua dalam salafisme adalah anggapan bahwa sebuah teks adalah terang-benderang. Inilah prinsip hermeneutis yang dikenal sebagai “perspicuitas”. Prinsip ini menganggap bahwa kurang lebih seluruh teks Kitab Suci bersifat terang-benderang, tidak mengandung ambiguitas apapun yang membutuhkan kegiatan penafsiran yang rumit. Teks suci bisa berbicara tentang dirinya sendiri tanpa bantuan seorang penafsir. Tentu saja, kalangan salafis tidak menolak kegiatan penafsiran, tetapi mereka agak curiga padanya. Kegiatan penafsiran, terutama aspek penafsiran yang dalam tradisi Islam klasik disebut dengan ta’wil (penafsiran yang tidak harafiah, penafsiran yang alegoris), cenderung dipandang oleh kalangan salafis dengan mata kecurigaan. Ini yang menjelaskan penolakan yang begitu gigih di kalangan sebagian kalangan Islam terhadap penerapan teori penafsiran yang datang dari tradisi filsafat hermeneutika. Salah satu argumentasi mereka adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran non-Quranik. Dengan kata lain, teor hermeneutika bukanlah teori “pribumi” yang berasal dari tradisi penafsiran Islam sendiri, dan karena itu harus ditolak. Argumentasi lain adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran Alkitab dalam lingkungan Yahudi dan Kristen. Argumen-argumen itu, walau tak seluruhnya salah, mengabaikan sama sekali fakta bahwa perkembangan teori penafsiran “pribumi” dalam tradisi Quran bukan sepenuhnya berasal dari tradisi Islam sendiri, sebaliknya ada pengaruh dari luar juga. Kekayaan khazanah Islam, termasuk di dalamnya adalah khazanah penafsiran Quran, diperkaya oleh pelbagai sumber-sumber dari luar.

Kelemahan ketiga dalam salafisme adalah adanya kecenderungan ke arah “absolutisme penafsiran”. Kalau boleh, perkenankan saya memakai istilah “otoritarianisme hermeneutik”, artinya kecenderungan untuk menganggap bahwa hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah, absolut dan paling otoritatif. Kecenderungan ini membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial. Sekarang ini, muncul gejala di tengah-tengah masyarakat di mana gampang sekali suatu golongan, mazhab, atau sekte disesatkan hanya gara-gara berbeda dengan pandangan ortodoks yang dianggap paling benar. Ada sebuah buku yang terbit dan beredar di tengah-tengah masyarakat, berisi daftar aliran-aliran dan golongan sesat yang berkembang di Indonesia. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat dibuat takut untuk berhadapan dengan gagasa-gagasan baru dalam bidang sosial-keagamaan. Ada kekhawatiran jangan-jangan gagasan baru itu menyimpang dari ajaran yang benar dan karena itu “sesat”. Meskipun tidak ada “inkwisisi agama” di negeri kita saat ini, tetapi situasi yang muncul saat ini jelas mengarah kepada situasi serupa yang tercipta karena adanya inkwisisi, yaitu ketakutan akan sebuah gagasan baru dalam bidang keagamaan.

Dengan tiga kelemahan di atas, salafisme, menurut saya bukanlah pilihan yang ideal, meskipun saya menghormati sepenuhnya mereka yang menganut cara pandang seperti itu. Dalam pandangan saya, kebangkitan agama tidak semata-semata bisa diterjemahkan melalui bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang ingin saya sebut sebagai “khalafisme”, dari kata “khalaf” yang merupakan kebalikan dari “salaf”. Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual. Munculnya para pemikir Muslim yang menyebut diri mereka sebagai liberal dan progresif, menurut saya, masuk dalam kecenderungan yang kedua ini. Mereka bukanlah kelompok yang hendak membatalkan sama sekali otoritas teks suci atau meninggalkan sama sekali tradisi. Mereka adalah orang-orang yang seraya loyal pada tradisi, tetapi terus berusaha untuk memahami tradisi itu dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Sarana untuk melakukan hal itu sudah tersedia dalam khazanah tradisi kita sendiri, yaitu “ijtihad”, yakni penalaran rasional atas diktum-diktum dalam teks suci untuk menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi lampau.

Kaum “khalafis”, jika kita boleh mekakai istilah itu, menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut: bagaimanakah kita, sebagai seorang Muslim, bisa tetap taat pada tradisi kita, pada teks-teks suci yang ada, pada sumber-sumber otoritatif yang dianggap ilahiah, seraya tidak kehilangan relevansi dengan keadaan yang terus berubah? Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti “es batu” yang dipaksa terus membeku, tidak boleh mencair karena “cuaca” yang sudah berubah? Bagaimana seorang Muslim bisa mengabaikan perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat modern dalam memahami ajaran-ajaran agamanya? Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya, dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita masih tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul isteri (QS 4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Apakah kita masih tetap bertahan pada hukum lama bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin (berdasarkan sebuah hadis la yuflihu qaumun wallau imra’atan – bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang perempuan, mereka tak akan sukses), sementara keadaan sudah berubah secara drastis, di mana kesempatan pendidikan terbuka luas bagi perempuan, di mana perempuan mencapai prestasi yang tak jauh berbeda dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang? Apakah kita masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada sebuah hadis yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam itu masih harus dipertahankan? Apa “rationale-“nya? Apakah alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan hingga sekarang? Intinya: apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara disksriminatif masih tetap harus kita pertahankan, semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?

Apakah orang-orang yang berbeda dari kita dari segi agama, mazhab, pemikiran harus kita anggap kafir, syirik, sesat, dan sebagainya? Apakah sebutan-sebutan semacam itu masih relevan saat ini? Apakah sikap-sikap kecurigaan atas agama lain yang dijustifikasi berdasarkan ayat-ayat tertentu dalam Quran (misalnya QS 2:120) masih relevan kita pertahankan sekarang? Kenapa kita tidak meng-highlight contoh-contoh tindakan Nabi yang memperlihatkan dengan jelas etos toleransi dan pluralisme, seperti misalnya Piagam Madinah? Kenapa pernikahan beda agama dilarang? Apa alasan yang mendasari larangan itu? Apakah alasan tersebut masih relevan sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tidaklah terhindarkan bagi seorang Muslim modern. Para pemikir Muslim liberal dan progresif yang bergerak dalam tradisi khalafisme sebetulnya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh berdasarkan sumber-sumber tekstual, tradisi, dan konteks yang terus berubah. Jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-utik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, pada dead-end. Opsi yang ditawarkan oleh kaum salafis memang tampak menarik: Tuhan adalah Maha Tahu, dan Ia lebih tahu hukum-hukum apa yang tepat untuk mengatur kehidupan manusia. Tugas manusia sebagai hamba bukanlah mengutak-atik hukum itu, tetapi melaksanakannya dengan “sendiko dhawuh”, tanpa mempersoalkannya sama sekali. Bukanlah fondasi agama, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kierkegaard adalah “loncatan iman”, leap of faith? Berhadapan dengan hukum-hukum Tuhan itu, manusia tak ada pilihan lain kecuali patuh saja. “Dan tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim laki-laki dan perempuan manakalah Allah dan RasulNya telah memutuskan sesuatu (kecuali menaatinya),” demikian penegasan sebuah ayat dalam Quran (QS 33:36).

Opsi kaum salafis itu, di permukaan, memang tampak masuk akal. Tetapi, jika kita telaah lebih jauh, maka cara-pandang semacam itu jelas mengandung banyak kelamahan mendasar. Pertanyaan yang harus diajukan kepada kaum salafis itu adalah: apakah Tuhan menegasikan sama sekali kedudukan manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang berpikir dan memiliki kehendak serta pikiran? Dalam Islam kita kenal konsep tentang “taklif” atau “moral responsibility”, tanggung-jawab moral. Subyek hukum dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki suatu kemampuan tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas moral. Hanya orang-orang yang disebut sebagai “mukallaf”-lah yang bisa menyangga beban hukum. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mental tidak sehat atau waras, tidak dianggap sebagai subyek hukum. Orang yang sedang tidur, misalnya, bukanlah dianggap sebagai subyek hukum yang layak dibebani tugas moral tertentu. Fondasi utama konsep taklif adalah “common sense”, yakni akal-sehat. Orang-orang yang memiliki akal sehatlah yang bisa menanggung suatu tugas moral. Dengan kata lain, manusia bukanlah dipandang semata-mata sebagai hamba yang pasif, tetapi subyek yang memiliki akal sehat, kehendak, dan pikiran. Salah satu “teriakan moral” (moral cry) yang dikumandangkan oleh Nabi Muhammad adalah kritikan yang keras terhadap tindakan “ikut-ikutan”, taklidisme, membebek tradisi yang ada, tanpa dipikirkan dengan akal sehat secara masak-masak. Kita bisa membaca hal itu dalam banyak ayat di Quran (QS 2:170, 31:21). Kalau kita telaah semangat utama yang dikemukakan Nabi pada masa-masa awal karirnya sebagai seorang guru moral adalah undangan untuk memakai akal sehat, dan menghindarkan diri dari sikap konformisme, ikut kepada tradisi yang ada tanpa sikap kritis. Di sini, jelas, kedudukan manusia sebagai subyek yang berpikir dan berkehendak sangatlah penting sekali.

Sikap kaum salafis yang meminta kita semua untuk menjadi subyek pasif di hadapan hukum Tuhan, seraya mengatakan bahwa Tuhan lebih tahu segala hal yang terbaik bagi manusia, jelas permintaan yang, menurut saya, sangat kelewatan dan sama sekali “counter intuitive”, bertentangan dengan akal sehat kita. Gagasan yang hendak dibawa oleh kalangan Muslim khalafis, bukan salafis, adalah bahwa kita bisa tunduk pada hukum Tuhan seraya tetap mempertahankan diri kita sebagai subyek yang berpikir, berkehendak, dan mampu untuk mencari dasar-dasar “ratio legis” bagi hukum-hukum itu. Ketataan manusia pada hukum atau sunnah Tuhan sama sekali berbeda dengan ketaatan entitas-entitas lain yang nir-kehendak, seperti tetumbuhan atau mineral. Air jelas akan mengikuti hukum Tuhan (dhi. hukum alam) secara pasif, seperti dalam hukum Archimedes misalnya. Air bukanlah subyek yang berkehendak, dan karena itu ia mengikuti “nature” atau hukum alamiahnya secara sempurna tanpa penyelewengan sedikitpun. Tetapi manusia bukanlah benda alam yang nir-kehendak, bukan entitas yang pasif yang mengikuti “nature”-nya tanpa ba-bi-bu. “Nature” atau watak alamiah manusia justru pada kemampuannya untuk melakukan tawar-menawar dengan hukum-hukum alam yang tersedia di sekitar dirinya. Manusia, melalui kehendaknya, tidak sekedar tunduk pada “nature”, tetapi juga mampu melakukan negosiasi dengannya. Manusia mampu melakukan manipulasi atas “nature” dan memakainya untuk tujuan dirinya, entah tujuan yang baik atau jahat. Kaum salafis, tampaknya, dengan gagasan mereka tentang manusia sebagai hamba-pasif yang menerima saja hukum Tuhan tanpa melakukan “pertimbangan hermeneutis” atasnya, hendak menurunkan derajat manusia dari subyek-berkehendak menjadi entitas tak-berkehendak, menjadi seperti tetumbuhan atau mineral pada umumnya. Ini jelas suatu tindakan de-humanisasi, pemerosotan martabat manusia; jelas tindakan yang berlawanan dengan semangat dasar yang dikumandangkan oleh Quran sendiri tentang “kemuliaan martabat manusia” (QS 17:70).

Perkenankan saya menyinggung sedikit soal “kemuliaan martabat manusia”. Saya kira, benar apa yang dikemukakan oleh banyak ahli dan sarjana tentang sumber-sumber tradisional dari gagasan modern tentang “human dignity” atau kemuliaan manusia. Gagasan modern itu bukanlah gagasan yang sepenuhnya sekular dan tak ada kait-mengaitnya dengan sejarah pemikiran agama-agama. Selain sumber-sumber sekular dalam tradisi pencerahan sendiri, gagasan tentang kemuliaan manusia juga bersumber dari agama. Dalam Kristen dikenal konsep tentang “imago Dei”, manusia sebagai citraan Tuhan. Dalam Islam, kita kenal konsep tentang “takrim” atau pemuliaan manusia, bersumber dari penegasan dalam sebuah ayat dalam Quran: wa laqad karramna bani Adam (QS 17:70), dan Aku muliakan anak-anak Adam.

Mari kita telaah sejenak kata “karramna” itu. Kata itu berasal dari akar k-r-m yang berarti mulia. Dari kata itu, muncullah sejumlah istilah-istilah lain, seperti “karim” yang berarti “yang mulia”. Dalam Lisan al-‘Arab, leksikon Arab klasik, kata “karim” dimaknai sebagai “al-jami’ li anwa’ al-khair wa al-sharaf wa al-fadha’il,” yakni orang yang memiliki seluruh kualitas kebaikan, kemuliaan dan keluhuran. Quran sendiri tidak pernah disebut sebagai Kitab Suci (al-kitab al-muqaddas) dalam tradisi Islam, tetapi sebaliknya sebagai Kitab yang Mulia (kitab karim, QS 56:77). Nabi dan Jibril, malaikat pembawa wahyu, juga digambarkan oleh Quran sebagai “utusan yang mulia” (rasul karim, QS 69:40). Tuhan sendiri juga menggambarkan dirinya sebagai Tuhan Yang Mulia dan Maha Dermawan (rabbuk al-karim, QS 82:6). Manusia, dengan demikian, digambarkan sebagai subyek yang mulia; Tuhan menjadikannya sebagai subyek yang “karim”, yang mulia, sesuai dengan penegasan dalam ayat di atas: karramna. Kemuliaan manusia sebagai subyek tentu bukan semata-mata karena bentuk fisiknya yang sempurna (ahsan taqwim, QS 95:4), tetapi juga karena ia memiliki kehendak bebas, memiliki pikiran (QS 91:8).

Oleh karena itu, ketaatan manusia pada hukum Tuhan tidak bisa dipisahkan dari aspek yang sangat penting di atas, yakni kehendak bebas manusia. Kelemahan mendasar dalam teori hukum Islam klasik adalah tidak dimasukkannya unsur pengalaman manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang karim itu, dalam kontruksi diskursus hukum, dalam perumusan diktum-diktum legal. Pengalaman manusia sama sekali diabaikan sebagai “sub-text” yang kurang penting. Yang menarik, pengalaman manusia ini tidaklah bisa diusir sepenuhnya dari proses penafsiran teks-teks suci, meskipun secara “remsi” tidak pernah diakui. Pengalaman manusia tetap “menyelundup” diam-diam dalam perumusan hukum Islam, tanpa disadari oleh para “Muslim jurists” sendiri. Contoh terbaik adalah hukum-hukum Islam yang sejuah ini banyak mengandung elemen-elemen “misoginis”, sama sekali tak ramah pada kaum perempuan. Pengalaman perempuan sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan otonom jarang atah sama sekali tak diperhitungkan.

Saya akan mengambil suatu kasus kongkrit sebagai sebuah ilustrasi. Sekarang ini, kita sedang mengikuti perdebatan ramai sekali mengenai soal poligami dan nikah siri, yakni nikah-bawah-tangan yang tak tercatat. Sungguh menarik sekali bahwa sebagian besar kaum laki-laki dari kalangan elit agama (anda bisa menyebutnya ulama, kiai, atau ustaz) cenderung setuju pada praktek poligami dan nikah siri. Alasan “formal” yang kerap dikemukakan adalah bahwa keduanya secara eksplisit diperbolehkan oleh hukum agama. Pencatatan nikah bukanlah ketentuan yang diharuskan oleh agama. Karena itu, pencatatan nikah tidak menjadi syarat validnya sebuah pernikahan. Pertanyaan kita adalah: apakah hukum semacam itu harus kita terima sekarang ini? Apakah pengalaman perempuan tidak diperhitungkan dalam perumusan hukum ini? Kenapa hukum agama harus dimenangkan “at all cost”, seraya mengabaikan pengalaman manusia sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan berkehendak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas layak dikemukakan. Seorang Muslim yang beragama dengan sungguh-sungguh dan tidak bersiakp “burung onta”, jelas tidak bisa menolak “pertanyaan-pertanyaan kritis” yang meronta-ronta di atas. Salah satu keberatan kaum salafis terhadap cara pandang kaum khalafis adalah: jika pengalaman subyektif manusia diperhitungkan dalam konstruksi hukum, maka kita memperoleh hukum yang subyektif, hukum yang terus berubah, hukum yang tidak memberikan kepastian. Bukankah agama adalah “guidance” atau petunjuk yang mestinya harus memberikan kepastian? Hukum manusia memang boleh berubah, tetapi hukum Tuhan tidak sama sekali, demikian pandangan kaum salafis.

Apakah pandangan semacam itu dapat kita terima? Gagasan bahwa hukum Tuhan tidak berubah sama sekali jelas tidak benar. Dalam Quran sendiri ditegaskan bahwa masing-masing bangsa memiliki “hukum Tuhan” yang berbeda-beda (QS 5:48). Masing-masing epok sejarah dan generasi memiliki hukum yang pas untuk “zeit-geist”, semangat zamannya. Jika hukum Tuhan berlaku universal, tentu tak akan ada rangkaian wahyu-wahyu yang susul-menyusul dari waktu ke waktu dan membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan zamannya. Gagasan tentang “historisitas” sudah tertancap dalam konstruksi wahyu itu sendiri. Ketika berhadapan dengan manusia, Tuhan bekerja tidak lain dengan prinsip historisitas itu. Sebab, “Yang Tak Terbatas” tak bisa dikandung oleh “Yang Terbatas”, karena itu terjadilah proses “kemenyejarahan”, yakni Tuhan Yang Tak Terbatas menyejarah melalui wahyu, firman dan hukum-Nya seturut dengan batasan-batasan historis yang ada pada manusia yang serba terbatas. Bahwa masing-masing utusan Tuhan datang dengan instrumen kebahasaan yang dapat dipahami oleh lingkungan sosialnya (QS 14:4) menandakan bahwa kehendak, wahyu dan firman Tuhan memang tak bisa lain kecuali harus mengalami proses “penubuhan” dalam sejarah. Tak heran jika firman Tuhan yang sudah menubuh dalam sejarah manusia itu juga akan membawa sifat-sifat yang serba relatif, artinya terkait dengan konteks tertentu. Saat mengalami proses penubuhan itu, wahyu dan firman Tuhan juga harus mempertimbangkan pengalaman manusia yang terus berubah. Hukum Tuhan, bukan hanya hukum manusia, juga berubah. Tentu saja harus segera diberikan “caveat” di sini: bahwa tidak semua hukum Tuhan berubah; ada sejumlah hukum Tuhan yang bersifat universal, tetapi banyak diantaranya bersifat relatif dan kondisional.

Kaum salafis biasanya juga mengatakan bahwa hukum Islam mewakili Kehendak dan Firman Tuhan terakhir yang berlaku abadi, dan tidak bisa diubah-ubah lagi. Hukum Islam adalah The Last Law. Sementara Nabi Muhammad adalah The Last Prophet yang membawa kebenaran terbesar terakhir dalam sejarah manusia. Quran sendiri juga dianggap sebagai The Last Revelation, Wahyu dan Penyingkapan Terakhir yang menjadi kata-pamungkas untuk seluruh kebenaran. Kalau kita telaah gagasan ini, tampak sekali bahwa asumsi yang mendasarinya adalah semacam cara berpikir “yang nomor paling akhir adalah yang terbaik”. Apakah benar, yang paling akhir adalah yang terbaik? Bukankah dalam bidang yang lain, umat Islam justru percaya bahwa yang akhir justru menandai kemerosotan? Bukankah Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi awal yang dekat dengan periode kenabian? Bukankah ada anggapan pula pada umat Islam bahwa makin jauh dari generasi Nabi, kemungkinan terjadi korupsi makin besar? Dengan kata lain, dalam hal ini, logika yang bekerna justru “yang nomor pertama yang tarbaik”. Kenapa ada dua logika yang bekerja secara kontradiktoris di sana? Yang satu menganggap bahwa yang nomor bontot yang paling baik, sementara yang satunya justru menganggap nomor pertama paling baik. Bagaimana mendamaikan dua logika semacam ini?

Sebagai Muslim, saya tentu tak mengingkari dogma yang ada dalam Islam bahwa Quran dan Muhammad adalah wahyu dan nabi terakhir. Tetapi, dogma semacam ini sama sekali tidak menegasikan aspek historisitas dalam wahyu dan hukum Tuhan. Setelah Quran, dalam kepercayaan umat Islam, memang tidak ada wahyu lagi. Tetapi, ada hal lain yang sangat penting, yaitu manusia sebagai subyek yang karim, yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi. Wahyu memang berhenti, tetapi akal manusia terus bekerja untuk melanjutkan tugas yang dulu pernah diemban oleh wahyu dan kenabian Muhammad. Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitan pengalamannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama. Konteks sosial yang terus berubah juga merupakan aspek lain yang tak bisa diabaikan. Hingga sekarang ini, sebagian besar umat Islam masih beredar di sekitar orbit salafisme, yaitu memahami agama dengan memberikan tekanan yang tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sementara mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia. Menurut saya, harus ada “paradigm shift”, perubahan cara pandang yang memang tidak mudah, dari pemahaman yang text-minded kepada pemahaman yang mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai subyek yang memiliki akal sehat.

Inti pemahaman keagamaan yang diajukan oleh kaum khalafis, oleh para pemikir Muslim liberal dan progresif di mana-mana, sebetulnya, adalah sederhana: yaitu pemahaman keagamaan yang masuk akal. Akal sehat adalah modal utama bagi semua orang –bagi kalangan spesialis atau awam—untuk menilai sesuatu. Sabda Nabi Muhammad yang terkenal adalah “istafti qalbaka”, mintalah “fatwa” pada hati nuranimu, pada akal sehatmu. Sebelum ditunjang oleh ayat, hadis, dan argumen yang bertakik-takik dan njlimet, kita bisa menilai apakah sebuah “fatwa” atau pandangan keagamaan tertentu masuk akal atau tidak.

Marilah kita ambil contoh yang sederhana. Di sebuah provinsi Indonesia saat ini, ada sebuah qanun atau UU yang membolehkan seorang perempuan dihentikan di tengah jalan karena berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum agama. Dalam hukum Islam yang standar, memang aturan pakaian perempuan adalah menutup seluruh tubuh selain muka dan dua telapak tangan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada hukum semacam ini, kita patut bertanya dengan akal sehat kita: kenapa perempuan diharuskan berpakaian semacam itu? Alasan yang kerap dikemukakan adalah untuk menjaga agar tak terjadi “fitnah” atau “sexual arousal”, pembangkitan syahwat. Wanita dipandang sebagai subyek pasif yang menimbulkan keguncangan pada kaum laki-laki. Perempuan adalah subyek volkanik yang bisa menimbulkan ledakan fitnah yang mengganggu kaum laki-laki. Pandangan semacam ini, secara umum mungkin bisa diterima akal. Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa perempuan yang harus menanggung “harga” dari gangguan ini. Kenapa laki-laki dibiarkan sebagai subyek yang sama sekali tak disentuh. Hukum tentang pakaian bagi perempuan dalam Islam selama ini kurang memperhitungkan pengalaman perempuan sebagai subyek otonom. Memandang bahwa perempuan adalah “sumber syahwat” yang volkanik jelas pandangan khas laki-laki yang sama sekali mengabaikan aspek-aspek yang kompleks dalam konstruksi subyek perempuan. Orang-orang yang menganggap bahwa aturan pakaian perempuan dalam Islam yang kita warisi dari era klasik dulu masih berlaku sekarang dan harus ditegakkan melalui Perda atau Qanun jelas mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi, selain mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek yang karim pula. Hukum semacam ini, tanpa melalui argumentasi yang rumit, dapat kita nilai tak masuk akal.

Dengan mengatakan hal ini, bukan berarti bahwa saya menganjurkan agar perempuan memakai pakaian apa saja sesukanya tanpa mengindahkan rasa kepantasan umum. Apa yang disebut sebagai “akal sehat” memiliki suatu “hukum imanen” tersendiri yang dapat menengarai batas-batas yang pantas dan tidak. Karena itu, hukum pakaian dalam Islam, menurut saya, bukanlah jenis pakaian tertentu yang menutup bagian-bagian badan tertentu. Kaidah pokok berpakaian dalam Islam, menurut saya, adalah kepantasan (public decency). Masing-masing masyarakat dan lingkungan budaya memiliki kaidah kepantasan masing-masing yang sesuai dengan budaya setempat.

Baru-baru ini, suatu golongan dalam Islam dimusuhi karena membawa ajaran yang berbeda mengenai kenabian, yaitu Ahmadiyah. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah, selain juga dianggap sesat dan telah keluar dari agama Islam. Anggota kelompok ini diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak. Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama (QS 2:256). Kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam. Jiwa ajaran Islam pernah dikumandangkan dengan sangat baik oleh seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat asal Inggris, yaitu Roger William, yang pernah melontarkan kata-katanya yang terkenal, “the forced worship stinks in the God’s nostril” – ibadah yang dipaksakan akan menjadi sangat busuk baunya di hidung Tuhan.

Konsep tiadanya pemaksaan mestinya berlaku secara penuh, baik secara eksternal dan internal, sehingga prinsip itu menjadi konsisten dan masuk akal. Secara eksternal dalam pengertian, tak ada paksaan untuk masuk dari luar ke dalam Islam, tak boleh ada “konversi” yang dipaksakan. Secara internal, berarti tak ada paksaan untuk masuk ke dalam golongan, mazhab, atau sekte tertentu dalam Islam setelah yang berangkutan masuk Islam. Memaksa seseorang masuk ke dalam mazhab, sekte atau paham tertentu dalam Islam sama saja menyalahi prinsip dasar tiadanya paksaan tersebut. Memaksa golongan Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran yang dianggap “benar”, atau memaksa mereka keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri, jelas berlawanan dengan prinsip tiadanya paksaan dalam agama itu.

Salah satu argumen yang kerap dikemukakan oleh kaum salafis adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat tindakan kekerasan. Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru, dalam sejarah manusia, selalu membawa keresahan dalam masyarakat. Jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alasan menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang. Gagagasan Galileo tentang heliosentrisme jelas menimbulkan kemarahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, mazhab, atau paham baru tidak diperbolehkan muncul ke permukaan dengan alasan akan menimbulkan kemarahan masyarakat, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang. Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Amin al-Khuli dari Mesir, “tu’addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharab, tsumma tushbihu ma’a al-zaman mazhaban ba ‘aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam,” suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan.

Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan kaum kulit hitam di Amerika Serikat dulu jika mereka dilarang untuk membawa gagasan tentang kesetaraan manusia, melawan praktek diskriminasi, dengan alasan, gagasan itu akan meresahkan kaum kulit putih. Jika alasan keresahan kaum kulit putih itu dibenarkan, maka orang-orang Afro-Amerika sekarang ini tak akan pernah bisa menikmati kesetaraan. Gagasan baru, seperti dikatakan oleh Amin al-Khuli di atas, memang sering meresahkan dan dimusuhi, tetapi gagasan baru itulah yang membuat “frontier” peradaban manusia terus maju.

Yang menyedihkan adalah bahwa argumen tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argumen oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan. Argumen ini ingin saya sebut sebagai “the politics of blackmailing”, politik pemerasan. Lebih tidak pantas lagi jika argumen semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat. Jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.

Keadaan yang saya anggap sebagai suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah para elit agama kita tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong agar mereka bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, tetapi justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam nasyarakat. Ini jelas seperti menyiramkan bahan bakar kepada rumput yang sudah kering. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. Sementara itu tugas pemerintah bukanlah menekankan kembali “mindset” lama, yaitu menjada ketertiban umum dengan cara menekan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membawa paham baru yang meresahkan. Tindakan pemerintah semacam ini selain berlawanan dengan kontitusi kita yang melindungi prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan, juga tidak paralel dengan prinsip dasar dalam Islam sendiri yang menampik adanya paksaan dalam agama.

Dengan cara berpikir semacam inilah, kaum Muslim khalafis, para pemikir liberal dan progresif, mencoba mendamaikan antara imperatif keimanan dan imperatif perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. Jika ada kaum Muslim yang layak disebut moderat, mereka itulah yang pantas menyandang gelar itu, sebab mereka lah yang menjaga keseimbangan antara “tradisi” dan “perubahan”, antara “ashalah” dan “hadathah”, antara otentisitas dan modernitas.

Sekian, terima kasih.

Jakarta, 2 Maret 2010
Disampaikan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Diperbarui sekitar 3 bulan yang lalu
30 orang menyukai ini.
Lihat ke-35 komentar
Catatan tentang film '2012'
Bagikan
21 November 2009 jam 20:36
Film 2012 yang digarap oleh sutradara Jerman Roland Emmerich itu sekarang menjadi kegemparan di sejumlah kota di Indonesia. Ribuan orang berduyun-duyun ke gedung bioskop untuk menyaksikannya. Pertama kali pergi bersama isteri ke gedung bioskop Cineplex 21 di Setiabudi Building, saya tidak mendapatkan tiket. Semua tiket ludes, bahkan hingga pertunjukan paling akhir selepas tengah malam. Kebetulan saat itu adalah malam Minggu.

Seminggu kemudian, saya datang kembali, tetap bersama isteri, untuk menonton film itu. Kali ini lumayan beruntung, karena akhirnya kami mendapatkan tiket. Tetapi, saya harus sedikit memendam rasa kecewa, karena hanya mendapatkan tempat duduk satu baris sebelum kursi yang paling depan. Selama film itu diputar, saya harus menonton film itu dengan sedikit mendongak. Usai menonton, leher saya terasa pegal-pegal.

Kenapa film ini mendadak menjadi kegemparan? Pertama, karena judulnya sendiri, 2012. Konon, itulah tahun yang diramalkan sebagai akhir dunia atau kiamat. Publik tentu penasaran, seperti apakah dunia kalau kiamat nanti. Kedua, ada komentar dari salah satu petinggi MUI, yaitu H. Amidhan, bahwa film ini mengandung propaganda 'agama' tertentu. Maksudnya mungkin agama Kristen (saya tidak tahu, di mana unsur propaganda Kristennya dalam film ini; Roland Emmerich jelas seorang agnostik, dan tidak peduli dengan soal kekristenan).

Bahkan ada rumor bahwa film ini akan dilarang beredar, karena dianggap tidak 'Islami'. Khawatir film ini tidak lagi beredar di pasaran, publik tak sabar untuk segera menontonnya. Sebuah media bahkan memberitakan bahwa di Bali, sejumlah penonton rela membeli tiket dengan harga dua kali lipat dari seorang calo.

Suatu kejadian yang menarik saya alami ketika saya menonton film ini Sabtu kemaren, 21/11/09, di Teater Hollywood Kartika Chandra. Saya saksikan banyak sekali ibu-ibu berjilbab yang ikut antri menonton film ini. Saya mempunyai kesan, mereka ini tampaknya bukan ibu-ibu yang masuk dalam kategori "movie goers" atau penggemar film, tetapi ibu-ibu masjid ta'lim yang mungkin baru seumur-umur menonton film. Mungkin karena mendapat kabar 'burung' bahwa film ini berkenaan tentang hari kiamat, mereka tergerak untuk menonton. Mungkin juga karena film ini dipersoalkan oleh seorang petinggi MUI, mereka jadi pensaran untuk melihatnya langsung.

Ala kulli hal, komentar "miring" H. Amidhan dari MUI itu justru menjadi "iklan gratis" bagi film itu. Mestinya, produser film 2012 harus memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Bapak Amidhan karena telah menjadi "juru iklan gratis" bagi film tersebut.

Apakah benar ini adalah film tentang hari kiamat? Jawaban saya dengan tegas: Tidak. Ini bukanlah film tentang "doomsday," atau yaum al-qiyamah, dalam istilah Islamnya. Ini adalah film tentang bencana alam, natural disaster. Selama ini, sutradara Roland Emmerich memang dikenal sebagai spesialis di bidang film-film bencana alam. Salah satu filmnya yang sering saya tonton dan tak bosan-bosan adalah "Independence Day". Fantasi Emmerich dalam film ini sungguh memukai: tentang serangan makhluk "asing" dari luar angkasa yang hendak menjajah bumi dan menghancurkan peradaban manusia.

Film Emmerich yang lain dan sangat laris adalah "The Day After Tomorrow", tentang "pendinginan global" (bukan pemanasan global) di masa yang akan datang dan kembalinya Zaman Es (Ice Age).

Sebagaimana film-film Emmerich yang lain, film 2012 mempunyai ciri khas yang sama: yaitu fantasi yang liar tentang adanya bencana alam yang maha hebat, dan usaha manusia untuk "survive" atau selamat dari bencana itu. Film 2012 berbicara tentang dislokasi atau pergeseran lempeng bumi secara global yang menimbulkan tanah longsor dan gempa bumi di sekujur bumi. Bayangkan, gempa bumi di seluruh bumi! Gempa berkekuatan rata-rata di atas 9 dalam skala richter. Akibatnya, terjadilah tsunami global berupa ombak laut yang tingginya kira-kira 1500 meter. Tak ada satupun permukaan bumi yang selamat dari hempasan tsunami ini, keculai pucuk tertinggi Gunung Himalaya.

Apakah manusia musnah karena terjangan tsunami raksasa ini? Di sinilah seluruh kisah film 2012 berpusat. Film ini, sebagaimana film-film Emmerich yang lain, berkisah tentang "ikhtiar" manusia untuk selamat dari hempasan tsunami gigantik ini. Manusia tidaklah obyek pasif berhadapan dengan alam yang sedang "mengamuk". Manusia memiliki kemampuan untuk "mengatasi" musibah alam dengan skala global.

Dalam film itu digambarkan bahwa datangnya bencana geologi global itu ternyata sudah diprediksi oleh sejumlah ilmuwan, dan suatu proyek rahasia dengan skala global yang melibatkan sebagian besar pemerintahan negara-negara besar dunia diam-diam dimulai. Yaitu membangun enam atau tujuh kapal besar yang mampu bertahan menghadapi hempasan tsunami raksasa itu. Kapal itu dibangun di sebuah tempat di daratan Cina. Ini adalah proyek yang sangat rahasia sekali. Prediksi tentang bencana global yang mengerikan itu juga sama sekali tak diberitahukan ke publik hingga detik-detik terakhir, khawatir menimbulkan kekacauan global.

Di lain pihak, film ini juga menggambarkan tentang perjuangan hidup-mati seorang penulis dari Los Angeles, Jackson Curtis (diperankan oleh John Cusack), pengarang novel yang sama sekali tak laku (hanya terbit 500 eksemplar) berjudul "Farewel Atlantis" yang juga berbicara tentang semacam bencana hebat. Perjuangan Curtis untuk selamat dari gempa dahsyat dan longsor bumi yang menghempas Los Angeles digambarkan dengan dramatis dalam film ini.

Salah satu daya tarik film ini adalah penggambaran tentang usaha untuk selamat dari situasi maut dalam hitungan detik. Siapapun tahu inilah "bumbu" dalam film-film laga Hollywood yang menjadikannya laris-manis seperti kacang goreng. Salah satu adegan dalam film ini yang membuat penonton menghela nafas adalah saat kapal induk raksasa John F. Kennedy menghantam Gedung Putih. Walaupun kita semua tahu ini adalah efek yang diciptakan melalui manipulasi komputer, tetapi adegan itu sendiri tetap memukau.

Ujung film itu jelas: Curtis, mantan isterinya dan kedua anaknya yang berjuang hidup mati untuk mencapai daratan Cina untuk naik kapal induk akhirnya berhasil. Peradaban manusia tidak musnah di tengah banjir global yang melanda seluruh permukaan bumi. Kapal induk itu membawa manusia dan sejumlah binantang untuk melanjutkan kehidupan baru paska-banjir. Misi kapal itu memang jelas: menyelamatkan spesies manusia dan peradabannya.

Barangsiapa pernah membaca kisah tentang Nabi Nuh, sebetulnya akan segara tahu bahwa kerangka film ini memang diambil dari kisah itu. Mungkin kebetulan, atau mungkin juga disengaja oleh Emmerich atau penulis senario, anak laki-laki Jackson Curtis, salah satu tokoh utama dalam film itu, bernama Noah (versi Inggris dari nama Nuh dalam bahasa Arab).

Dalam sebuah wawancara di TV, H. Amidhan dari MUI berkata bahwa film itu tidak sesuai dengan semangat Islam. Alasannya, antara lain, bahwa hari kiamat termasuk barang gaib yang tidak diketahui oleh Tuhan. Oleh karena itu visualisasi hari kiamat tidak diperbolehkan.

Saya sebetulnya tidak ingin menganggap serius pernyataan "ngawur" tokoh MUI ini. Tetapi kalau sekedar mau "uji argumen", maka saya bisa menjawabnya sebagai berikut. Pertama, ini bukanlah film tentang hari kiamat. Ini adalah film tentang bencana alam global yang dahsyat. Bencana ini tidak membuat dunia musnah dan manusia hilang dari pemukaan bumi. Kalau kita merujuk pengertian "hari kiamat" dalam nomenklatur Islam, jelas pengertian kiamat di sana adalah akhir dunia.

Dalam film ini, dunia digambarkan tidak berakhir. Dunia masih terus ada, dan manusia selamat dari hempasan tsunami global dan akhirnya menemukan kembali "dunia dan kehidupan baru" di Afrika, tepatnya di Semenanjung Ujung Harapan (di Afrika Selatan). Jadi keliru sama sekali manakala H. Amidhan dari MUI menganggap bahwa film ini adalah tentang hari kiamat.

Kedua, apakah betul visualisasi tentang hal yang gaib tidak diperbolehkan dalam Islam? Dari mana hukum itu dipeorleh oleh H. Amidhan. Dalam Quran sendiri kita jumpai banyak visualisasi yang memikat tentang hari kiamat. Salah satu penggambaran hari kiamat yang agak-agak mendekati film Emmerich ini ada dalam Surah al-Takwir (Surah no. 81). Ayat ketiga dalam Surah itu berbunyi "wa idza 'l-jibalu suyyirat", ketika gunung berjalan. Dalam film Emmerich itu, digambarkan suatu proses dislokasi geologis yang dahsyat sehingga lanskap bumi berubah total. Gunung-gunung pindah lokasi, dan peta dunia seperti disusun kembali.

Sekali lagi, tak ada larangan apapun dalam Islam untuk memvisualisasi semua hal yang gaib, terutama hari kiamat.

Ketiga, film ini, dalam pandangan saya, justru sesuai dengan semangat Islam. Film ini "mengajarkan" (tentu ini istilah yang terlalu "dramatis" untuk sebuah film yang tidak diniatkan sebagai sebuah "ajaran agama") tentang pentingnya ikhtiar dan optimisme walaupun manusia sedang dilanda bencana dahsyat yang seolah-olah di luar kekuasaan mereka. Manusia bukanlah makhluk yang tunduk saja pada "nasib", tetapi mampu berikhitiar. Dalam keadaan yang sesulit apapun, manusia tetap harus berusaha dan memiliki harapan. Bukankah ini adalah "nilai" yang justru sesuai dengan semangat "Islam", Bapak Amidhan?

Sebagai penutup, film ini sebetulnya tidak menarik dari segi cerita. Kalau mengharap kisah yang kompleks dan menarik dari film ini, siap-siaplah untuk kecewa. Film ini menarik karena efek-efek visual yang sangat mengagumkan. Fantasi tentang bencana alam yang tak pernah terpikirkan oleh kita dan efek-efek visual yang dengan cerdik dimanipulasi oleh Emmerich untuk menggambarkannya adalah salah satu daya tarik film ini.

Ala kulli hal, saya terhibur sekali dengan film ini.

Ulil Abshar Abdalla
Diperbarui sekitar 7 bulan yang lalu
24 orang menyukai ini.
Lihat ke-37 komentar
Membunuh "Tersangka" Terorisme?
Bagikan
11 Oktober 2009 jam 20:25

Membunuh "Tersangka" Terorisme?

Dengan ramainya berita para teoris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti dibunuh? Bukankah mereka belum tentu sunguh-sungguh teroris? Bukankah keputusan mereka sebagai teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan? Sebelum ada ketuk palu Pak Hakim yang memutuskan bahwa Saifuddin Jaelani, "tersangka" terorisme yang tewas Jumat (9/10) yang lalu di Ciputat, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris? Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai "tersangka."

Bukankah dalam dunia hukum kita kenal asas praduga tak bersalah yang beraku universal? Apakah polisi tidak melanggar ini saat membunuh tersangka terorisme?

Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya dengan sembunyi-sembunyi sudah mengarahkan kita kepada kesimpulan tertentu: seseorang yang masih dalam status "tersangka teroris" belum atau tidak boleh dibunuh. Karena itu, tindakan Densus 88 membunuh Saifuddin Jaelani dan Syahrir salah sama sekali dari segi hukum.

Saudara-saudara sekalian yang disayangi Tuhan, kalau dibaca secara sekilas, logika atau cara berpikir di atas seolah-olah benar dan masuk akal. Mereka yang tak berpikir kritis, akan langsung "manggut-manggut" meng-iya-kan cara berpikir seperti itu. Tetapi, kalau kita mau berpikir sedikit lebih jauh, maka akan terlihat sejumlah bolong-bolong di dalamnya. Marilah kita lihat di mana-mana bolong-bolongnya itu. Saya berharap anda sabar membaca tulisan saya ini hingga tuntas.

Marilah kita ambil contoh yang sekarang sedang populer di masyarakat, yaitu pengadilan mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Sebelum ada keputusan dari pengadilan yang bersifat definitif (maksudnya sampai ke tingkat terakhir, yaitu pengadilan tingkat kasasi), maka Antasari belumlah bisa disebut bersalah melakukan tindakan melawan hukum atau kejahatan (dhi. pembunuhan). Saat polisi menangkap Antasari, itu bukanlah pertanda bahwa yang bersangkutan sudah pasti bersalah. Dia ditangkap oleh pihak aparat penegak hukum bukan karena sudah pasti bersalah, tetapi semata-mata karena akan disidik guna diajukan ke pengadilan. Asas praduga tak bersalah tak dilanggar di sini.

Keputusan salah-tidaknya yang bersangkutan akan ditentukan di Pengadilan Negeri. Jika dia tak puas dengan keputusan di tingkat pengadilan pertama, ada hak pada dia untuk mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua. Kalau masih tak puas, dia bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di sanalah keputusan hukum terakhir ditentukan.

Andaikan saja Antasari melawan saat hendak ditangkap oleh pihak kepolisian untuk tindakan penyidikan, entah dengan cara lari atau bahkan mengancam nyawa aparat, maka menurut prosedur hukum yang berlaku, pihak aparat diberikan otoritas untuk melumpuhkannya. Jika saja Antasari mengancam akan menembak polisi saat hendak ditangkap, maka polisi boleh membela diri dengan cara melumpuhkan atau --dalam situasi terdesak-- membunuh yang bersangkutan. Walaupun Antasari masih berstatus "tersangka", tetapi dia boleh ditembak, karena mengancam dan melawan aparat hukum. Ini andaian saja.

Tindakan polisi, dalam hal ini, sah secara hukum. Polisi tidak bisa disebut sebagai "membunuh" orang yang sedang dalam status "tersangka". Tujuan polisi bukanlah hendak membunuh yang bersangkutan, tetapi menangkap si tersangka untuk disidik dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan bisa saja menganggap bahwa data yang diajukan polisi dan selanjutnya jaksa untuk mendukung tuduhan atas si tersangka lemah sama sekali, sehingga yang terakhir itu dinyatakan tak bersalah.

Tentu saja istilah "tersangka" di sini tidak bisa kita maknai dalam pengertian sehari-hari kata itu. Kata "tersangka" di sini tak sama kedudukannya dengan, misalnya, sangkaan saya bahwa tetangga saya di sebelah rumah adalah maling. Seorang polisi tidak bisa sembarangan melakukan "sangkaan" dan menangkap seseorang.

Saat polisi menyangka seseorang berbuat kejahatan, dia haruslah memiliki data yang cukup, dan kemudian setelah itu dia menangkap. Seseorang juga tidak bisa ditangkap dan disidik dalam waktu yang tak terbatas. Polisi hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menyidik. Setelah lewat batas waktu itu, si tersangka haruslah dilepaskan. Mereka yang belajar hukum acara pidana, tentu paham mengenai soal ini.

Apa relevansi semua ini dengan soal pembunuhan "tersangka" teroris Saifuddin Jaelani dan Syahrir di Ciputat kemaren?

Saat menggrebek dua tersangka teroris, jelas pihak kepolisian sudah memiliki data yang cukup untuk menyangka dua orang itu sebagai teroris. Tujuan pertama polisi adalah menangkap keduanya untuk disidik dan kemudian diajukan ke pengadilan. Keputusan terakhir apakah Saifuddin Jaelani dan Syahrir benar-benar teroris atau tidak tentu ada di pengadilan.

Jika dua orang itu tak melawan saat hendak ditangkap oleh Densus 88, sudah pasti keduanya akan selamat, hidup, dan tidak dibunuh. Mereka dibunuh karena melawan aparat. Jika mereka bertindak "kooperatif" seperti dalam kasus Antasari Azhar, sudah pasti polisi tak akan membunuh mereka berdua. Membunuh bagi polisi adalah tindakan "the last resort", alternatif terakhir setelah alternatif yang lain buntu.

Dalam kasus pembunuhan dua tersangka teroris yang terakhir kemaren, kita mendapatkan informasi dari pihak Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Sukarna, bahwa dua orang itu mengancam polisi dengan cara melemparkan bom. Sesuai dengan prosedur yang berlaku, polisi berhak untuk melumpuhkan dan membunuh yang bersangkutan.

Kasus para teroris yang melawan dengan cara menyerang polisi saat mau ditangkap sudah sering kita dengar. Pertanyaan saya adalah: jika Saifuddin Jaelani, Syahrir, atau Ibrohim (aka Boim) dalam kasus penyergapan di Temanggung dulu, benar-benar merasa tidak bersalah, kenapa mereka tak menyerah saja? Kenapa mereka melawan?

Banyak teroris lain yang langsung menyerah saat ditangkap polisi, dan karena itu mereka tidak ditembak. Contoh yang baik adalah Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi -- para pelaku bom Bali pertama. Ketiganya tidak dibunuh oleh polisi, karena saat ditangkap tidak melawan dengan cara menembak balik aparat hukum. Akhirnya ketiganya dihukum mati, tetapi setelah melalui proses pengadilan.

Oleh karena itu, cara berpikir yang terselip dalam pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini tidak bisa dibenarkan. Saat membunuh Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, polisi telah melakukan langkah yang benar. Polisi tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Pertanyaan berikutnya: apakah informasi polisi bahwa tersangka teroris itu melawan saat mau ditangkap, benar? Apakah polisi tidak berbohong dalam hal ini?

Sangkaan bahwa polisi berbohong bisa saja benar. Tetapi mereka yang meragukan informasi polisi, haruslah menunjukkan bukti yang kuat. Berdasarkan itu, mereka bisa menuntut polisi ke PTUN, misalnya.

Dalam pandangan saya, informasi polisi itu benar adanya. Pertama, setiap tersangka teroris dibunuh di sebuah tempat, selalu ditemukan senjata, bom, dan amunisi lain yang siap diolah menjadi bom. Artinya, mereka memang sudah mempunyai "niat jahat" sejak awal. Kedua, dalam beberapa kasus penangkapan tersangka teroris, seperti di Temanggung, beberapa media elektronik melaporkan langsung dari lapangan, dan kita bisa melihat sendiri terjadinya baku-tembak antara polisi dan tersangka terorisme.

Ketiga, taruhlah laporan media itu kita ragukan kebenarannya. Pertanyaannya: kasus perlawanan terhadap polisi tidak hanya berlangsung di Temanggung saja, tetapi juka di Jatiasih, di Solo saat penangkapan Noordin M Top, di Batu (Malang) saat penangkapan Dr. Azahari, dan terakhir di Ciputat kemaren. Ratusan (kalau malah tak ribuan) orang di sekitar perumahan Dr. Azahari di Batu menyaksikan terjadinya baku-tembak antara dia dan polisi, sebab penangkanpan ketika itu berangsung pada waktu siang hari, dan karena itu banyak yang menonton.

Dengan kata lain, ada pola yang berlangsung dengan konsisten di sini: tersangka terorisme itu membawa senjata saat mau ditangkap dan melawan. Sekali lagi, tidak semua tersangka terorisme melawan saat ditangkap. Tetapi yang melawan jelas ada, dan kasusnya berlangsung berkali-kali. Artinya, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tanpa bukti empiris.

Memang banyak yang tak suka pada Densus 88 karena mereka bertindak tegas dan keras pada pelaku terorisme. Mereka yang tak suka ini bisa digolongkan ke dalam dua kategori.

Pertama, mereka yang memang memiliki "concern atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, sehingga mereka was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok pertama ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah.

Kedua, mereka yang sebetunya dari awal setuju dengan ideologi, doktrin, dan ajaran para pelaku terorisme itu, atau lebih spesifik ajaran jihad ala Abu Bakar Ba'asyir. Mereka ini menunggangi isu HAM untuk menyembunyikan simpati dan dukungan mereka terhadap ideologi terorisme. Inilah "musang berbulu ayam" yang harus diwaspadai!

Semoga tulisan ini bermanfaat. In uridu illa 'l-islah wa taufiqi illa bi l-Lah.

Ulil Abshar Abdalla

Wednesday, June 16, 2010

Mengolah dan Mempertajam Nurani

Mengolah dan Mempertajam Nurani

Mangreh landeping mimising cipta, cipta panggraitaning rahsa.
Haywa lena kaki, awit hamung pinda sak gebyaring thathit”

Agar memiliki ketajaman nalar (daya cipta/intelegensia otak), nalar harus bisa menangkap makna yang terbersit dalam nurani.
Jangan sampai lengah anakku, sebab proses untuk menangkap gerataran nurani hanya berlangsung secepat kilat.

Nurani milik siapapun pastilah setajam “sembilu”, jika dirasa tumpul, itu bukan berarti salah nuraninya, melainkan tugas nalar sebagai cipta panggraitaning rahsa telah mengalami kegagalan.
By sabdalangit

Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.

Melanjutkan thread terdahulu dalam MEMBANGUN KESADARAN RAHSA SEJATI, tulisan berikut ini saya persembahkan teruntuk para pembaca yang budiman, para generasi penerus bangsa Nusantara, di manapun berada. Karena banyaknya pertanyaan baik melalui email maupun komentar-komentar di blog, tentang bagaimana teknik atau tata cara agar supaya individu mampu meraba, merasakan dan membedakan mana getaran nurani, mana pula getaran nafsu. Pertanyaan tersebut bukanlah sekedar latah, tetapi mengelola hati nurani merupakan hal yang signifikan untuk diupayakan dengan skala prioritas tinggi. Sebab ia menjadikan setiap pribadi mampu berdiri sebagai mandireng pribadi, yakni pribadi yang memiliki kemandirian dalam menentukan mana dan apa yang paling tepat, paling baik dilakukan. Bukankah nilai manusia terletak pada kejernihan isi atau suara hatinya ?!! Suara hati atau hati nurani merupakan kesadaran aku akan tanggungjawab dan kewajiban aku sebagai makhluk bernama manusia dalam situasi yang sungguh-sungguh konkrit dan tepat. Sehingga suara hati harus dipatuhi dan diikuti. Hati nurani atau dalam terminologi Jawa disebut sebagai ALUSING PANDULU atau kehalusan daya cipta, yakni kekuatan yang atau kemampuan perasaan hati nurani untuk meraba, merasakan, membedakan, dan menentukan. Alusing pandulu merupakan pangkal dari otonomi setiap individu, yakni dasar dari kemandirian pribadi. Pusat otoritas setiap pribadi berada di dalam hati nuraninya sendiri. Sementara itu untuk menyeleksi baik atau buruk merupakan tanggungjawab nalar dengan cara open minded atau pemikiran terbuka dan bebas menentukan pilihan dan keputusan mana yang paling tepat.Lanjut Membaca…

NURANI ; JENDELA MENEMBUS UNINONG, ANING, UNONG

Nalar pun kenyataannya sangat riskan dapat terkurung oleh suatu tembok yang bernama keyakinan membabi buta. Dengan kata lain, penghalang terbesar ketajaman nurani kita, tidak lain adalah doktrin-doktrin yang membelenggu nalar. Mulai dari bentuk doktrin militer, doktrin budaya, doktrin seni, doktrin ideologi, hingga doktrin agama. Sebab itu doktrin lebih bersifat pengungkungan kesadaran, agar individu memiliki LOYALITAS tanpa perlu nalar. Tanpa perlu menjawab PERTANYAAN-PERTANYAAN yang timbul dari HATI NURANI. Jika dianalogikan, doktrin merupakan alat yang serupa dengan KACAMATA KUDA, sementara “kuda” adalah perumpamaan insan. Supaya kuda tetap berjalan lurus ke depan maka diperlukan kacamata (baca: doktrin). Sebab doktrin (kacamata kuda) mempunyai prinsip keharusan/kewajiban bahwa jalan ”kebenaran” hanyalah jalan yang lurus yang hanya tampak di depannya saja. Sementara itu, adalah realitas dan fakta bahwa hidup ini banyak ditemukan “persimpangan jalan”, banyak sekali “jalan raya”, “jalan protokol”, “jalan daendels”, “jalan propinsi”, dan “jalan setapak”. Masing-masing “jalan” menuju ke satu tujuan yang sama yakni Sang Causa Prima atau Gusti (bagusing ati), Gusti ada di dalam aku. Setiap orang hendak mencari Gusti di dalam aku, agar supaya diri kita menjadi aku di dalam Gusti. Dalam istilah Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai “rasa; aku bukan kramadhangsa” atau “aku kang madeg pribadi” atau saya sebut sebagai rahsa sejati. Itulah paraning dumadi manusia, tak berada jauh di atas langit sana, tetapi ada dalam setiap pribadi kita masing-masing. Kesadaran ini dapat menjelaskan pula mengapa nenek moyang bangsa kita dulu jika berdoa tidak menengadah sambil menatap langit, melainkan cukup dengan telapak tangan memegang dada. Dalam maneges pun tersebutlah NIAT INGSUN, yang bermakna Ingsun ing sajroning aku, Aku ing sajroning Ingsun. Konsep KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai roroning atunggil, dwi tunggal, atau asas Manunggaling Kawula kalawan Gusti. Sebuah pelataran spiritual yang pernah pula digelar oleh Ki Ageng Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) bersama Syeh Lemah Abang sebagai UNINONG ANING UNONG.

Sementara itu, hati nurani selalu mampu menembus berbagai tembok penghalang, yang menghalangi obyektivitas sesungguhnya akan suatu realitas kehidupan. Nurani adalah kekuatan yang TAK BISA dikelabuhi oleh imajinasi, ilusi, dan polusi getaran nafsu. Nurani yang terasah akan menjadi “mata hati”, “mata jiwa” yang mampu menguak “kebenaran sejati”. Hanya saja, untuk menggali dan menemukan hati nurani, kita harus menggalinya dari kubangan lumpur yang penuh bakteri, kuman dan penyakit. Tulisan berikut bertujuan untuk berbagi kawruh (pengetahuan) dan ngelmu (pengetahuan spiritual), bagaimana cara paling sederhana agar kita dapat menemukan nurani yang dapat diumpamakan sebagai “berlian” yang terendam di dalam “lumpur kotor”.

TEKNIK MEMBUKA JENDELA NURANI

Kita harus menutup panca indera untuk membuka mata batin yang berada dalam jiwa kita. Mata batin adalah mata yang dapat melihat sesuatu secara lebih cerah, jelas, dan gamblang. Kecermatan dan kemampuannya menjabarkan fakta gaib dan wadag jutaan kali melebihi panca indera. Paling tidak terdapat lima sarat agar supaya kita betul-betul mampu merasakan dan membedakan apakah sesuatu getaran merupakan getaran NURANI (kareping rahsa) ataukah hanya sekedar getaran nafsu (rahsaning karep).

1. Beninging ati atau kejernihan kalbu. Antara suara hati dan nalar manusia selalu terjadi dialog, tarik menarik, bahkan masing-masing saling “berperang” untuk berebut pengaruh dan otoritas. Jika kekuatan keduanya berimbang gejalanya dapat kita rasakan pada saat terjadi kebimbangan dan keragu-raguan. Atau sikap ambigu, dan dualisme. Sementara itu, jika nalar memenangkan jadilah pribadi yang hanya mengandalkan kemampuan rasio semata. Sehingga bagi dirinya banyak sekali hal-hal di luar nalar yang dengan segera ia tepis sebagai sesuatu yang tidak ada, omong kosong atau ngoyoworo. Hal-hal gaib dianggap sebagai sesuatu yang non-sense, dan di luar logika. Maka gaib pun dianggap omong kosong. Menurut saya pribadi, gaib pun ternyata sangat logis dan masuk akal. Jika ada hal gaib yang dianggap tidak masuk akal, ada dua kemungkinan yakni, pertama; benar-benar dongeng atau mitologi yang digaib-gaibkan. Kemungkinan kedua, nalar kita belum cukup menerima informasi akan rumus-rumus yang ada dan berlaku di dimensi gaib. Sementara itu beninging ati atau weninging tyas, akan tercipta manakala dialog, tarik-menarik, dan peperangan antara suara hati nurani dengan nalar berhenti sejenak. Saat itulah hati kita menjadi jernih, karena saat itu hati menjadi bebas merdeka dari segala bentuk “penjajahan” nalar yang seringkali terkooptasi oleh kepentingan pribadi, persepsi atau penilaian diri terhadap suatu obyek, serta ilusi dan imajinasi. Dalam dimensi lebih luas hati pun menjadi bebas dari kepentingan politik, kekuasaan, egoisme aliran, dan segala macam keinginan yang belum tercapai. Cara menghentikan dialog dan tarik-menarik antara hati dan nalar adalah dengan cara “mengalir mengikuti aliran air” atau (tapa ngeli). Yakni hidup dalam sikap kepasrahan. Konsentrasi pasrah bukan pada PROSES BERUSAHA atau saat berikhtiar, karena kepasrahan demikian ini merupakan konsep hidup yang salah kaprah. Pasrah yang dimaksud adalah pasrah akan ketentuan besar-kecil hasilnya akhir. Sementara itu dalam menjalani PROSESnya step by step kita tak boleh pasrah, tetapi harus berusaha secara maksimal, sekuat tenaga dan pikiran kita. Ada pepatah bola mengatakan,”Bermainlah bola secara cantik, soal menang kalah itu bukanlah urusan kita. Bila kalahpun, tetap akan menjadi “kesebelaasan” yang disegani dan dihormati orang lain. Jangan konsentrasi pada hasil akhir, tetapi konsentrasilah pada proses. Hal ini menjadi salah satu kiat sukses dalam olah semedi atau meditasi. Bila anda berkonsentrasi pada hasil, maka yang terjadi nalar kita akan dipenuhi oleh angan-angan. Biasanya yang terjadi adalah sebagaimana anekdot dalam bahasa Sunda sebagai berikut ; MELAK LAMUN DI TANAH SUGAN, DICEBOR KU CAI MUGA-MUGA, BERSEMILAH DAUN-DAUNNA MOGA-MOGA JANTEN-moga-moga janten, NGAN HASILNA, namina EEUWWEEEUHH …! Karunya teuing kan !
2. Sirnaning kekarepan atau sirnanya rahsaning karep. Atau lenyapnya semua maksud jahat, keburukan, dan tindakan hina-aniaya. Hal ini berkaitan dengan perilaku dan perbuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik sadar apalagi tanpa sadar. Jangan sampai mencelakai, merugikan, menyerobot hak orang lain. Untuk menuntun perilaku demikian diperlukan sebuah kesadaran kosmologis yakni sikap eling dan waspada.
3. Lereming pancadriya atau ketenangan panca indera. Ketenangan panca indera. Dalam spiritual Jawa dikenal sebagai BABAHAN HAWA SANGA atau babahan hawa (nafsumu), kosongna ! (bersihkanlah/kendalikanlah hawa nafsumu). Dapat pula diartikan 9 lubang pancaindera (2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 2 lubang mata, 1 lubang kemaluan, 1 lubang silit/anus, dan 1 lubang mulut = 9 lobang) kesemuanya menjadi pintu masuk hawa nafsu hendaknya dikendalikan atau “dikosongkan”. Keberhasilan mengendalikan panca indera akan memperoleh ketenangan pancaindera. Sebaliknya, kegagalan lereming pancadriya seseorang akan tersiksa dalam kegelisahan panjang oleh karena gejolak nafsu syahwat (ngacengan/konakan/nafsuan), nafsu makan (mudah lapar, ngileran, ngelihan, kemaruk, rakus), nafsu tidur (ngantukan, moloran dst), dan banyaknya karep atau kemauan yang diinginkan (tidak pernah puas diri, sulit bersyukur), nafsu angkara (Penyakit Hati ; panasten, suka panas hatinya, mudah iri hati, drengki, serba pamrih, congkak, sombong, takabur, egois. Emosi yang Labil ; tersinggungan, mudah sedih, mudah marah, kagetan, gumunan), nafsu halus (suka gede ndase, gemar dipuji, pamrih pahala). Pola bekerjanya panca indra yang lebih dominan dalam merespon obyek kehidupan justru akan mengaburkan getaran atau bisikan nurani. Salah-salah, getaran nafsunya dianggap sebagai getaran nurani. Sementara itu lereming pancadira akan mengistirahatkan bekerjanya otak. Hal ini seperti halnya kita melakukan olah semedi atau meditasi.
4. Jatmikaning solah bawa atau perilaku lahir dan batin yang santun. Perilaku lahiriah (solah) merupakan refleksi dari perilaku batin (bawa). Jatmikaning solah bawa, merupakan wujud kekompakan perilaku yang melibatkan empat unsur yakni; hati, ucapan, pikiran dan perbuatan atau tindakan nyata. Berbekal dengan hati yang jernih akan mampu menuntun nalar kita supaya lebih cermat dalam menyeleksi mana yang baik dan mana yang buruk. Selanjutnya bermodalkan kecermatan nalar dapat mengendalikan keinginan, dan memilah memilih serta mempertimbangkan secara arif dan bijak terhadap sesuatu yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuat. Solah dan bawa yang keluar dari nurani memiliki karisma besar sehingga dapat menselaraskan apa yang ada di sekelilingnya dengan apa yang diinginkan dan diharapkan. Dengan kata lain, jatmikaning solah bawa, menebarkan aura yang kuat, bagaikan medan magnet yang akan menyedot segala sesuatu yang senyawa dan sejenis. Kebaikan dan keburukan akan terkumpul dalam kumparan yang sejenis, terkonsentrasi dalam kelompoknya masing-masing. Maka kebaikan akan berbalas dengan kebaikan yang berlipat. Welas asih akan berbalas kasih sayang yang berlimpah ruah. Kejahatan akan berbalas kejahatan berlipat. Limpahan itu bagaikan suara yang bergema, terucap dengan volume 7, akan berbalik menjadi suara dengan volume 14. Sebagaimana pernah saya singgung dalam thread terdahulu dalam LAKSITA JATI. Begitulah rumus-rumus yang terjadi dalam hukum alam semesta. Pribadi yang menghayati jatmikaning solah bawa gerak-gerik, tingkah laku, watak wantun, sifat tabiatnya selalu enak dilihat dan membuat nyaman di hati (nuju prana). Pribadi yang pembawaan sifatnya selalu nuju prana bagai gayung bersambut, di mana-mana selalu menciptakan ketentraman, kenyamanan, kebahagiaan bagi ornag-orang di sekelilingnya. Selalu membuat enak di hati, kinaryo karyenak ing tyas sesama. Perilaku nuju prana menjadikan pribadi yang penuh aura positif. Jika wanita maka inner-beauty-nya akan memancar kuat dari dalam sanubari. Jika seorang pria perilakunya selalu anggawe reseping pancadriya. Barangkali hal ini ada kaitannya, mengapa seseorang dengan tingkat spiritual yang sudah mapan dan matang akan memancarkan daya tarik yang kuat, terlebih terhadap lawan jenis. Selanjutnya kita sebut sebagai goda. Resiko menjadi besar, apabila libidonya tidak tersalurkan dengan penuh tanggungjawab, baik tanggungjawab terhadap diri pribadi, keluarga, maupun tanggungjawab publik.
5. Ke empat poin di atas merupakan teknik yang harus dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Selain ke empat langkah di atas, ada pula tata cara yang lebih pragmatis berupa ketrampilan untuk mempertajam indentifikasi mata hati, sekaligus kemahiran membedakan apakah getaran yang dirasa merupakan bisikan nurani (tuhan) atau kah bisikan nafsu (“setan”). Di antaranya adalah olah semedi, meditasi, maladihening, atau mesu budi. Olah semedi dan meditasi, bertujuan untuk mencapai keadaan lereming pancadriya, sirnaning kekarepan, sarehing pangganda, dan beninging ati. Pencapaian ke empat keadaan diri tersebut pada gilirannya memicu ujung-ujung syaraf pancaindera menjadi lebih peka dalam mendeteksi segala sesuatu yang ada di sekitar diri kita, baik yang wadag maupun gaib. Kepekaan ini disebut sebagai sad-indra atau indera ke-enam (six sense). Dalam khasanah spiritual Jawa, berfungsinya sad-indra disebut juga rasa rumangsa, atau krasa nanging ora rumangsa. Kepekaan rasa mampu mendeteksi lebih awal namun tidak disadari oleh akal. Misalnya perkiraan anda sangat meyakinkan walau belum ada bukti apakah sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Setelah dibuktikan secara faktual dan ilmiah ternyata benar adanya, sesuai apa yang semula anda yakini. Nah, rasa yakin yang ternyata benar itu adalah rasa rumangsa. Bahkan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh mata pun dapat ditangkap singnal-signalnya melalui ujung syaraf perasa di seluruh permukaan tubuh. Diperkuat oleh pengendalian pusat (sentral) syaraf yakni otak (nalar), yang telah lebih peka pula karena sudah dapat membedakan yang NURANI dan yang bukan. Sehingga anda akan hafal betul dengan gejolak nurani anda sendiri. Hal itu membuat diri anda kadang-kadang mampu weruh sak durunge winarah. Anda tahu persis akan terjadi sesuatu peristiwa, sebelum suatu peristiwa itu terjadi. Tampaknya sulit sekali kita mencapai kebisaan seperti di atas. Tetapi setelah kita MAU membiasakan diri menghayati semua tata laku tersebut, semuanya dapat kita raih dengan mudahnya. Anda akan mampu dengan sendirinya melalui beberapa tahap neng, ning, nung, nang. Yakni jumeneng, wening, sinung, dan menang. Kemenangan hidup bilamana kita bisa menjadi manusia yang merdeka lahir dan batinnya. Kemenangan diperoleh setelah kita kesinungan. Supaya kesinungan, kita harus selalu wening. Agar supaya bisa wening kita musti mau untuk jumeneng. Kemenangan hidup menjadi jalan setapak untuk menggapai uninong aning unong.

MANFAAT LAIN DARI NURANI

Dengan landasan pemahaman dan pengelolaan seluk-beluk nurani seperti telah saya uraikan di atas, membuat setiap individu dapat mengendalikan DAYA PANGARIBAWA. Daya pangaribawa adalah sebuah kekuatan besar berasal dari getaran nurani. Berupa kewibawaan atau pengaruh kekuatan yang besar yang memancar dari tatapan mata, air muka, solah dan bawa (perilaku lahir dan batin). Sementara itu tutur kata yang bersumber dari nurani, sangat berguna untuk mencapai suatu maksud dan tujuan yang diharapkannya. Daya pangaribawa akan memancar, beresonansi ke sekelilingnya, bahkan daya pangaribawa yang getaran “resonansinya” kuat sekali akan membahana memencar ke penjuru semesta alam. Mampu mewujudkan apa yang yang diharapkan. Apa yang dipikirkan dan diucapkannya mudah menjadi kenyataan. Belum lagi kita berdoa, harapannya sudah terkabul lebih dulu. Metode ini menjelaskan pula bagaimana seseorang dapat memiliki kekuatan IDU GENI, sabdo pandito ratu, apa yang diucapkan pasti terwujud. Getaran alam akan selaras, sinergis dan harmonis dengan getaran nurani, demikian pula sebaliknya getaran nuraninya akan selaras dengan getaran (kodrat/hukum) alam. Di situlah letak “kesaktian” seseorang, manakala menjadi mandireng pribadi, berarti pula aku adalah alam semesta, kekuatan alam semesta adalah kekuatanku. Yang ini menjelaskan pula bagaimana orang-orang zaman dulu, seperti Ki Ageng Selo, Ki Ageng Mangir Wonoboyo, para Ratugung Binatara menjadi seorang pribadi yang sakti mandraguna. Di antaranya mampu menangkap dan mengendalikan petir, mampu menjebol dan memuntahkan lahar gunung berapi dll. Ini bukan sekedar dongeng atau mitologi, beliau-beliau bukanlah orang yang gegulangan ilmu karang, tetapi hanya karena berhasil menjadi manusia yang (dengan tingkat kesadaran) KOSMOLOGIS, lebih dari sekedar kesadaran spirit (untuk hal ini akan saya jabarkan dalam topik selanjutnya). Siapapun anda, pasti bisa melakukan, asal ada kemauan. Secara teknis, proses daya pangaribawa menjadi hasil karya nyata, atau menjadi kalimat bertuah setelah melalui tahapan-tahapan berikut ini.

1. Panggraitaning cipta batin (bisikan nurani) yang secara tepat menentukan target dan memotivasi kepada pencapaian suatu tujuan (mligining cipta). Seseorang tidak akan merencanakan dan melakukan sesuatu di luar kehendak nurani. Sebaliknya keinginan yang bukan kehendak nurani tidak akan terwujud. Maka seseorang tidak akan berharap-harap selain yang berasal dari bisikan nuraninya sendiri.
2. Ketepatan Bertindak. Setelah suatu target dan tujuan secara tepat dapat ditentutan oleh nurani, dituntut konsistensi tata lahir atau gerak ragawi untuk mewujudkan target dan tujuan tersebut. Dengan diipandu oleh nalar budi pekerti (intelegensia nurani) atau kejernihan nalar membuat diri kita lebih cermat membaca sinyal-sinyal dari panggraitaning cipta atau bisikan nurani. Akan tetapi kejernihan nalar baru dapat kita ciptakan apabila kita mampu cara meletakkan pikiran pada sudut yang netral dan obyektif. Hal ini tidak mudah dilakukan, sebab nalar manusia selalu penuh dengan intrik, imajinasi, pengandaian, ilusi dan penuh dengan data-data mentah yang tidak mudah dicerna. Untuk itu hendaknya cyclon atau gelombang otak sering-sering diturunkan pada level bheta dan tetha. Jangan terus-terusan memforsir otak selalu bekerja pada level alpha. Sebab daya kecermatan gelombang alpha hanyalah berkisar 0,0000035 dibanding kecermatan gelombang theta.
3. Tekad Bulat atau Kemantaban Hati. Ketepatan bertindak merupakan langkah konkrit dalam pencapaian tujuan. Namun hal itu belum cukup untuk mewujudkan daya pangaribawa, masig diperlukan adanya KETANGGA, atau keketeg ing angga, yakni kuatnya kehendak dari dalam jiwa atau tekad bulat. Untuk mencapai satu tujuan kita tak boleh mencla-mencle, plin-plan, ragu-ragu akan apa yang kita tetapkan sebagai tujuan. Tetapi harus konsentrasi penuh melibatkan batin (hati nurani), tata lahir atau gerak ragawi yang termaktub dalam kecermatan penalaran, dan sebuah tekad yang bulat yang bersumber dari kekuatan jiwa.
4. NING. Ketiga sumber kekuatan pribadi di atas belumlah lengkap. Masih harus melibatkan ning atau wening, hening cipta. Ning merupakan bentuk konsentrasi yang lebih tinggi daripada ketiga konsentrasi di atas. Ning merupakan full consentration, konsentrasi penuh, menjadi satu KARYO LEKSONO. Atau lebih mudah saya istilahkan NYAWIJI yakni melibatkan kekompakan seluruh elemen daya kekuatan dalam diri pribadi untuk satu tujuan. Atau hanya bertujuan tunggal dan mengerahkan segala daya dari dalam diri secara KOMPAK. Individu yang nyawiji menyatukan beberapa komponen sebagai satu kesatuan gerak langkah. Komponen tersebut meliputi 4 unsur yakni ; hati, pikiran, ucapan, dan tindakan nyata yang diarahkan kepada pencapaian tujuan yang satu. Contoh paling mudah, pada saat anda membidik agar mengenai sasaran, anda perlu full konsentrasi yakni harus menciptakan keheningan, ketenangan, percaya diri, kesabaran dalam tekad yang bulat, yang disatukan dalam setiap hela nafas. Keadaan full consentration akan mudah dicapai saat menahan nafas beberapa saat lamanya. Nafas adalah kendali dan tali yang bisa mengikat konsentrasi anda. Hal ini menjelaskan juga mengapa olah pernafasan menjadi pelajaran utama dalam latihan meditasi, olah semedi, maladihening, mesu budi. Termasuk di dalamnya sebagai sarana menyatukan diri (aku) dengan dzat sifat, afngal tuhan (Ingsun). Dalam tradisi tasawuf Jawa-Islam a la Syeh Siti Jenar disebut sebagai shalat dhaim. Sepadan pula dengan apa yang termaktub dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai sembah cipta, atau sembah kalbu. Pada intinya ning adalah upaya mewujudkan pencapaian kehidupan yang meditatif. Yakni tercapainya kesadaran di atas kesadaran nalar (higher consciousness). Secara intuitif manusia dapat mengetahui apa yang akan terjadi di alam. Karena kita dapat menangkap seluruh vibrasi yang ada di alam semesta. Setiap akan terjadi peristiwa, selalu terjadi perubahan vibrasi yang sebetulnya bisa dirasakan jika kita mau mencermati pancaran gelombang vibrasi tersebut. Di sinilah salah satu fungsi ning. Layaknya meditasi, ning membuat kita lebih peka, lebih memahami apapun yang sedang dan akan terjadi di sekeliling kita, bahkan apa yang terjadi pada belahan bumi yang lainnya.

MEMBEDAH ALAM FIKIRAN SITI JENAR

MEMBEDAH ALAM FIKIRAN SITI JENAR

TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI JENAR



Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.

Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.

Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;



Tentang Ketuhanan



M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”

S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.



M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”

S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.



M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?

S ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.



M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?

S ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.



M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?

S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash. Orang awam hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika ada orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.



M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?

S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu. Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar. Mereka shalat tidak mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan.



M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini bagaimana ?

S ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi buru-buru meminta balasan,…..aneh!



M ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap baik. Ini bagaimana ?

S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang.



M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ?

S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya.



M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?

S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat, semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan, kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di segala tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya. Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya, kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud maupun dalam pengertian.



M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?

S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.



M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?

S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuannya.



M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat sejati ?

S ; Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti, kutaati siang malam, yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Mahasuci.



M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci ?

S ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya berwujud samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.



M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja.

S ; Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu salah besar, itu kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar. Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.



M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?

S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.



M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih gamblang ?

S ; Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya.



M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?

S ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah yang duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat duapuluh itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat duapuluh itu, sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur Muhammad.



M ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada kenabian lagi ?

S ; Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah. Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi lahiriah Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan. Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah meminjam. Jika sudah diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.



M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?

S ; Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati. Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku mengajarkan kepada kalian untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya. Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu hanya kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan.



M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng Syekh ?

S ; Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu.



M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang sesungguhnya ?

S ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah, sedangkan akal milik manusia. Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi memakmurkan kepentingan pribadi.



M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah ?

S ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya.



M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?

S ; Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.



M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling kawula-Gusti ?

S ; Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap manunggaling kawula-Gusti.



M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?

S ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.



M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?

S ; Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa surga dan neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orang-orang awam menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki.



M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?

S ; Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang tidak harus menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat merasakan surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada di dalam jiwa kalian. Berada di dalam jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka, perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.



M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?

S ; Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya.



M ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah sudah merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat buruk ?

S ; Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan, apakah kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini. Karena meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun kalian tak perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari, toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah, namun akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa seperti Tuhan, maka surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.



M ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti sekarang ?

S ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak !



M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat ?

S ; Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta, yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak akan bisa mati atau rusak.



M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?

S ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan awal “kehidupan palsu” seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian sejati.



M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?

S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah.



M ; Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga.

S ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.



M ; Maaf saya belum paham Syekh.

S ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka berbuat buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu bagaimanapun juga jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya.



M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ?

S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.



Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada.

Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja.