Cari Blog

Sunday, June 27, 2010

SEJUMLAH REFLEKSI TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL-KEAGAMAAN KITA SAAT INI

SEJUMLAH REFLEKSI TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL-KEAGAMAAN KITA SAAT INI

Oleh Ulil Abshar-Abdalla


Berkebalikan dari diagnosis sejumlah sarjana modern selama ini, daya tahan agama dalam masyarakat modern ternyata jauh lebih kuat dan kenyal ketimbang yang disangkakan sejauh ini. Tesis sekularisasi yang selama ini kita kenal, yakni, bahwa makin modernisasi berkembang jauh dalam suatu masyarakat, agama akan makin tersingkir jauh dari lanskap kehidupan sosial, pelan-pelan dibuktikan salah oleh perkembangan sosial akhir-akhir ini. Alih-alih agama tersingkir dari gelanggang kehidupan umum, ia justru bangkit kembali dan menampakkan vitalitas yang jauh lebih kuat akhir-akhir ini. Di hampir seluruh sudut dunia saat ini, kita menyaksikan kembalinya agama, entah dalam bentuknya yang tradisional sebagai sebuah spiritualitas yang terlembaga, atau dalam bentuknya yang baru sama sekali, yakni spiritualitas yang tak terlembaga. Entah dalam bentuknya yang bersifat khusus, yaitu agama sebagai sebuah tindakan “belonging” (yakni, menjadi anggota dalam komunitas tertentu), atau yang bersifat umum, yaitu agama sebagai sebagai tindakan “believing” (yakni, iman yang tanpa disertai dengan keanggotaan dalam komunitas tertentu), agama telah mununjukkan daya hidupnya kembali dan hadir secara persisten dalam masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi begitu jauh.

Saat ini, kembalinya agama dalam gelanggang sosial-politik modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Ketimbang mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan” lama dan berharap agama bisa dipaksa kembali masuk ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum, lebih baik kita menghadapi fenomena ini dengan sikap positif tetapi sekaligus juga kritis. Positif, dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin lagi ditolak lagi, seraya mengusahakan agar kembalinya agama itu tetap sinkron, dan tidak antagonistik, dengan format kelembagaan sosial-politik yang sudah menjadi hasil konsensus sosial bersama. Kritis, dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, fenomena kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif. Di sana, ada ekses-ekses negatif yang menyertainya. Hal semacam ini disadari bukan saja oleh mereka yang skeptik pada agama, tetapi mereka yang justru bertanggung-jawab atas kebangkitan itu. Seorang ulama yang selama ini dianggap sebagai “ideolog” dan pemikir penting di kalangan generasi baru Muslim yang lahir dari fenomena kebangkitan agama ini, yakni Dr. Yusuf Qardlawi, bahkan sejak dini sudah mengingatkan adanya ekses-ekses negatif dari fenomena kebangkitan agama ini.

Dengan sikap positif dan sekaligus kritis ini, saya mengajak anda sekalian untuk melakukan refleksi atas sejumlah gejala kebangkitan agama di masyarakat kita saat ini, apa dampak positif yang bisa muncul dari sana, apa ekses negatif yang harus dihindari, dan apa sumbangan yang bisa kita harapakan dari fenomena itu untuk memperkuat proses konsolidasi demokrasi yang sekarang sudah berlangsung di tanah air ini. Saya juga ingin mengajak anda sekalian untuk menelaah dengan cermat sejumlah variasi-variasi dalam gejala kebangkitan agama ini. Apa yang saya sebut sebagai fenomena kebangkitan agama ini bukan semata-mata kebangkitan agama tradisional dalam bentuk menguatnya lembaga-lembaga keagamaan yang dulu ada, lalu sempat memudar sejenak karena proses-proses modernisasi di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kembali muncul ke permukaan. Apa yang saya sebut dengan kebangkitan agama ini mengambil bentuk yang bermacam-macam, dan sebagai fenomena sosial, ia jelas sangat rumit. Salah bentuk kebangkitan itu bukan saja munculnya kesadaran “primordial” untuk mengikatkan diri kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan yang sudah ada, tetapi juga usaha untuk menafsirkan kembali agama dalam semangat yang lebih sesuai dengan perkembangan yang ada. Dengan kata lain, kebangkitan agama bukan saja mengambil bentuk-bentuk yang selama ini sudah kita kenal, yaitu bentuk tradisionalisasi (yakni, kebangkitan dalam bentuk kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan tradisional yang ada – misalnya, kembalinya praktek-praktek ritual lama ke tengah-tengah masyarakat kota, seperti tahlil, pembacaan barzanji, ratib, atau salawat), dan revivalisme (kembalinya agama dalam bentuk ideologisasi agama sebagai landasan untuk perjuangan politik). Sekali lagi, kebangkitan itu tidak saja mengambil dua bentuk di atas, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang lebih rumit, yakni munculnya praktek-praktek spiritualitas baru yang berbasis pada spritual yang sudah ada, atau bentuk lain yang selama ini menjadi bahan kontroversi di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu gerakan “reformasi dari dalam” (reform from within). Munculnya pemikir dan teolog Muslim kritis yang mencoba melakukan pembacaan ulang atas tradisi Islam lama di dalam kontek perubahan yang ada, menurut saya, adalah bagian dari kompleksitas fenomena kebangkitan Islam itu. Dengan kata lain, munculnya corak-corak pemikiran baru seperti Islam liberal dan Islam progresif dengan selurh varian pendekatannya yang beragam adalah bagian dari fenomena kebangkitan tersebut. Upaya sebagian sarjana, pemikir dan aktivis Muslim untuk menghadapkan tradisi Islam dengan perkembangan modern di bidang teori-teori filsafat dan ilmu sosial mutakhir adalah bagian dari bentuk kebangkitan itu.

Saya ingin melihat kebangkitan di sini dalam dua arahnya sekaligus. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk “kembali” kepada apa yang sering dianggap sebagai masa lampau yang “pristin”, suci dan asli, atau kepada suatu Tradisi dengan “T” besar yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Baik salafisme yang menoleh ke belakang, atau “khalafisme” atau kontekstualisme yang melihat saat ini dan ke depan adalah dua bentuk kebangkitan Islam yang sah. Kesalahan fatal, entah di antara pengamat Islam atau aktivis Muslim sendiri selama ini adalah meninjau kebangkitan Islam semata-mata dari aspek “kembali ke masa lampau”. Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran. Sementara itu gerak yang mengarah ke masa kini, meninjau kembali ajaran-ajaran agama dalam terang zaman ini, tidak dianggap sebagai bagian dari kebangkitan agama, bahkan dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”. Anggapan semacam ini jelas sama sekali kurang tepat.

Saya melihat bahwa baik salafisme dan khalafisme, baik gerak menoleh ke masa lampau atau melihat masa sekarang, harus berjalan bersama-sama secara simultan. Di sinilah, saya ingin mengemukakan sejumlah kekurangan yang mendasar dalam salafisme. Sebelum saya bergerak lebih jauh, saya ingin mendefinisikan salafisme bukan semata-mata sebagai gerakan yang kembali kepada Quran dan sunnah yang cenderung menjauhi tradisi mazhab. Salafisme saya mengerti secara lebih luas sebagai gerakan untuk kembali ke “teks lampau”, baik dalam bentuk Quran, sunnah, tradisi para sahabat atau sesudahnya, atau pun teks-teks para pendiri mazhab yang sudah kita kenal selama ini – Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Baik gerakan yang semboyannya adalah kembali kepada Quran dan sunnah, seperti gerakan Wahabisme, atau salafisme moderat ala Muhammad Abduh, atau gerakan kembali kepada tradisi mazhab seperti tercermian dalam kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama, secara umum ingin saya golongkan kedalam arus besar salafisme. Saya tahu, penggolongan semacam ini boleh jadi akan ditentang oleh kelompok tertentu yang melihat itu sebagai generalisasi yang bermasalah.
Tanpa mengingkari sejumlah sumbangan positif yang dibawa oleh gerakan salafisme selama ini, antara lain semangat untuk kembali secara konsisten kepada Quran dan sunnah (ide yang tidak seluruhnya salah, sebetulnya, bahkan merupakan imperatif yang tak bisa ditolak oleh semua umat Islam), ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya; suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami ulang. Para juris atau ahli hukum Islam dengan baik merumuskan hal ini sebagai “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminat wa al-amkan,” perubahan hukum karena perubahan konteks spatio-temporal. Prinsip hukum yang sangat baik ini, sayangnya, tidak diterapkan secara konsisten dan komprehensif oleh para sarjana Islam sendiri.

Memang yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah: apakah teks “suci”, yaitu Quran dan sunnah, juga harus dipahami ulang jika keadaan berubah? Bukankah dua teks itu merupakan fondasi pokok keberagamaan seorang Muslim? Bukankah kita harus tunduk kepada keduanya tanpa sikap “reserve” apapun sebagaimana menjadi tuntutan dalam sebuah ayat yang terkenal dalam Surah al-Ahzab (QS 33:36)? Tentu saja, pemahaman atas teks suci itu harus terus berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan masyarakat yang juga terus berubah. Yang menjadi masalah adalah adanya kecenderungan yang makin kuat di tengah-tengah masyarakat kita di mana teks Quran dan sunnah diapandang sebagai “penyetop perbincangan”, conversation stopper. Ini adalah gejala yang jelas berhubungan dengan mind-set yang berkembang kuat di kalangan salafisme, yakni, bahwa Quran dan sunnah menjadi “palu” terakhir yang menentukan kata putus dalam segala masalah. Begitu Quran dan sunnah mengatakan A, maka dengan sendirinya seluruh perdebatan dan perbincangan akan selesai. Oleh karena itu, kita sering melihat suatu pemandangan yang sangat umum di kalangan umat Islam di mana semua pihak berlomba-lomba memeragakan kutipan dari Quran dan sunnah, seolah-olah kutipan itu akan menyelesaikan diskusi yang sedang berlangsung. Kecenderungan menjadikan Quran dan sunnah sebagai “penghenti perbincangan” ini sama sekali bukanlah perkembangan yang sehat.

Bahwa Quran dan sunnah menjadi fondasi keberagamaan seorang Muslim, jelas tidak bisa kita sanggah. Kita semua, sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan “ummah”, tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. Masalahnya bukan di sana, tentunya. Sumber otoritatif itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang dengan mind-set salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak tafsir, mereka berusaha untuk meredam multisiplitas teks suci dengan cara menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam. Mentalitas penyeragaman inilah yang mendasari cara berpikir kaum salafis di mana-mana. Dari sanalah kita bisa memahami kenapa timbul usaha-usaha untuk menegakkan semacam tafsir tunggal yang dianggap paling absah yang dipertahankan kerapkali “at all cost”. Tafsir-tafsir yang menyimpang dari tafsir-tunggal-absah itu dianggap sebagai sesat dan harus disingkirkan sebisa mungkin.

Kelemahan kedua dalam salafisme adalah anggapan bahwa sebuah teks adalah terang-benderang. Inilah prinsip hermeneutis yang dikenal sebagai “perspicuitas”. Prinsip ini menganggap bahwa kurang lebih seluruh teks Kitab Suci bersifat terang-benderang, tidak mengandung ambiguitas apapun yang membutuhkan kegiatan penafsiran yang rumit. Teks suci bisa berbicara tentang dirinya sendiri tanpa bantuan seorang penafsir. Tentu saja, kalangan salafis tidak menolak kegiatan penafsiran, tetapi mereka agak curiga padanya. Kegiatan penafsiran, terutama aspek penafsiran yang dalam tradisi Islam klasik disebut dengan ta’wil (penafsiran yang tidak harafiah, penafsiran yang alegoris), cenderung dipandang oleh kalangan salafis dengan mata kecurigaan. Ini yang menjelaskan penolakan yang begitu gigih di kalangan sebagian kalangan Islam terhadap penerapan teori penafsiran yang datang dari tradisi filsafat hermeneutika. Salah satu argumentasi mereka adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran non-Quranik. Dengan kata lain, teor hermeneutika bukanlah teori “pribumi” yang berasal dari tradisi penafsiran Islam sendiri, dan karena itu harus ditolak. Argumentasi lain adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran Alkitab dalam lingkungan Yahudi dan Kristen. Argumen-argumen itu, walau tak seluruhnya salah, mengabaikan sama sekali fakta bahwa perkembangan teori penafsiran “pribumi” dalam tradisi Quran bukan sepenuhnya berasal dari tradisi Islam sendiri, sebaliknya ada pengaruh dari luar juga. Kekayaan khazanah Islam, termasuk di dalamnya adalah khazanah penafsiran Quran, diperkaya oleh pelbagai sumber-sumber dari luar.

Kelemahan ketiga dalam salafisme adalah adanya kecenderungan ke arah “absolutisme penafsiran”. Kalau boleh, perkenankan saya memakai istilah “otoritarianisme hermeneutik”, artinya kecenderungan untuk menganggap bahwa hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah, absolut dan paling otoritatif. Kecenderungan ini membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial. Sekarang ini, muncul gejala di tengah-tengah masyarakat di mana gampang sekali suatu golongan, mazhab, atau sekte disesatkan hanya gara-gara berbeda dengan pandangan ortodoks yang dianggap paling benar. Ada sebuah buku yang terbit dan beredar di tengah-tengah masyarakat, berisi daftar aliran-aliran dan golongan sesat yang berkembang di Indonesia. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat dibuat takut untuk berhadapan dengan gagasa-gagasan baru dalam bidang sosial-keagamaan. Ada kekhawatiran jangan-jangan gagasan baru itu menyimpang dari ajaran yang benar dan karena itu “sesat”. Meskipun tidak ada “inkwisisi agama” di negeri kita saat ini, tetapi situasi yang muncul saat ini jelas mengarah kepada situasi serupa yang tercipta karena adanya inkwisisi, yaitu ketakutan akan sebuah gagasan baru dalam bidang keagamaan.

Dengan tiga kelemahan di atas, salafisme, menurut saya bukanlah pilihan yang ideal, meskipun saya menghormati sepenuhnya mereka yang menganut cara pandang seperti itu. Dalam pandangan saya, kebangkitan agama tidak semata-semata bisa diterjemahkan melalui bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang ingin saya sebut sebagai “khalafisme”, dari kata “khalaf” yang merupakan kebalikan dari “salaf”. Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual. Munculnya para pemikir Muslim yang menyebut diri mereka sebagai liberal dan progresif, menurut saya, masuk dalam kecenderungan yang kedua ini. Mereka bukanlah kelompok yang hendak membatalkan sama sekali otoritas teks suci atau meninggalkan sama sekali tradisi. Mereka adalah orang-orang yang seraya loyal pada tradisi, tetapi terus berusaha untuk memahami tradisi itu dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Sarana untuk melakukan hal itu sudah tersedia dalam khazanah tradisi kita sendiri, yaitu “ijtihad”, yakni penalaran rasional atas diktum-diktum dalam teks suci untuk menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi lampau.

Kaum “khalafis”, jika kita boleh mekakai istilah itu, menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut: bagaimanakah kita, sebagai seorang Muslim, bisa tetap taat pada tradisi kita, pada teks-teks suci yang ada, pada sumber-sumber otoritatif yang dianggap ilahiah, seraya tidak kehilangan relevansi dengan keadaan yang terus berubah? Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti “es batu” yang dipaksa terus membeku, tidak boleh mencair karena “cuaca” yang sudah berubah? Bagaimana seorang Muslim bisa mengabaikan perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat modern dalam memahami ajaran-ajaran agamanya? Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya, dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita masih tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul isteri (QS 4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Apakah kita masih tetap bertahan pada hukum lama bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin (berdasarkan sebuah hadis la yuflihu qaumun wallau imra’atan – bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang perempuan, mereka tak akan sukses), sementara keadaan sudah berubah secara drastis, di mana kesempatan pendidikan terbuka luas bagi perempuan, di mana perempuan mencapai prestasi yang tak jauh berbeda dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang? Apakah kita masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada sebuah hadis yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam itu masih harus dipertahankan? Apa “rationale-“nya? Apakah alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan hingga sekarang? Intinya: apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara disksriminatif masih tetap harus kita pertahankan, semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?

Apakah orang-orang yang berbeda dari kita dari segi agama, mazhab, pemikiran harus kita anggap kafir, syirik, sesat, dan sebagainya? Apakah sebutan-sebutan semacam itu masih relevan saat ini? Apakah sikap-sikap kecurigaan atas agama lain yang dijustifikasi berdasarkan ayat-ayat tertentu dalam Quran (misalnya QS 2:120) masih relevan kita pertahankan sekarang? Kenapa kita tidak meng-highlight contoh-contoh tindakan Nabi yang memperlihatkan dengan jelas etos toleransi dan pluralisme, seperti misalnya Piagam Madinah? Kenapa pernikahan beda agama dilarang? Apa alasan yang mendasari larangan itu? Apakah alasan tersebut masih relevan sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tidaklah terhindarkan bagi seorang Muslim modern. Para pemikir Muslim liberal dan progresif yang bergerak dalam tradisi khalafisme sebetulnya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh berdasarkan sumber-sumber tekstual, tradisi, dan konteks yang terus berubah. Jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-utik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, pada dead-end. Opsi yang ditawarkan oleh kaum salafis memang tampak menarik: Tuhan adalah Maha Tahu, dan Ia lebih tahu hukum-hukum apa yang tepat untuk mengatur kehidupan manusia. Tugas manusia sebagai hamba bukanlah mengutak-atik hukum itu, tetapi melaksanakannya dengan “sendiko dhawuh”, tanpa mempersoalkannya sama sekali. Bukanlah fondasi agama, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kierkegaard adalah “loncatan iman”, leap of faith? Berhadapan dengan hukum-hukum Tuhan itu, manusia tak ada pilihan lain kecuali patuh saja. “Dan tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim laki-laki dan perempuan manakalah Allah dan RasulNya telah memutuskan sesuatu (kecuali menaatinya),” demikian penegasan sebuah ayat dalam Quran (QS 33:36).

Opsi kaum salafis itu, di permukaan, memang tampak masuk akal. Tetapi, jika kita telaah lebih jauh, maka cara-pandang semacam itu jelas mengandung banyak kelamahan mendasar. Pertanyaan yang harus diajukan kepada kaum salafis itu adalah: apakah Tuhan menegasikan sama sekali kedudukan manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang berpikir dan memiliki kehendak serta pikiran? Dalam Islam kita kenal konsep tentang “taklif” atau “moral responsibility”, tanggung-jawab moral. Subyek hukum dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki suatu kemampuan tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas moral. Hanya orang-orang yang disebut sebagai “mukallaf”-lah yang bisa menyangga beban hukum. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mental tidak sehat atau waras, tidak dianggap sebagai subyek hukum. Orang yang sedang tidur, misalnya, bukanlah dianggap sebagai subyek hukum yang layak dibebani tugas moral tertentu. Fondasi utama konsep taklif adalah “common sense”, yakni akal-sehat. Orang-orang yang memiliki akal sehatlah yang bisa menanggung suatu tugas moral. Dengan kata lain, manusia bukanlah dipandang semata-mata sebagai hamba yang pasif, tetapi subyek yang memiliki akal sehat, kehendak, dan pikiran. Salah satu “teriakan moral” (moral cry) yang dikumandangkan oleh Nabi Muhammad adalah kritikan yang keras terhadap tindakan “ikut-ikutan”, taklidisme, membebek tradisi yang ada, tanpa dipikirkan dengan akal sehat secara masak-masak. Kita bisa membaca hal itu dalam banyak ayat di Quran (QS 2:170, 31:21). Kalau kita telaah semangat utama yang dikemukakan Nabi pada masa-masa awal karirnya sebagai seorang guru moral adalah undangan untuk memakai akal sehat, dan menghindarkan diri dari sikap konformisme, ikut kepada tradisi yang ada tanpa sikap kritis. Di sini, jelas, kedudukan manusia sebagai subyek yang berpikir dan berkehendak sangatlah penting sekali.

Sikap kaum salafis yang meminta kita semua untuk menjadi subyek pasif di hadapan hukum Tuhan, seraya mengatakan bahwa Tuhan lebih tahu segala hal yang terbaik bagi manusia, jelas permintaan yang, menurut saya, sangat kelewatan dan sama sekali “counter intuitive”, bertentangan dengan akal sehat kita. Gagasan yang hendak dibawa oleh kalangan Muslim khalafis, bukan salafis, adalah bahwa kita bisa tunduk pada hukum Tuhan seraya tetap mempertahankan diri kita sebagai subyek yang berpikir, berkehendak, dan mampu untuk mencari dasar-dasar “ratio legis” bagi hukum-hukum itu. Ketataan manusia pada hukum atau sunnah Tuhan sama sekali berbeda dengan ketaatan entitas-entitas lain yang nir-kehendak, seperti tetumbuhan atau mineral. Air jelas akan mengikuti hukum Tuhan (dhi. hukum alam) secara pasif, seperti dalam hukum Archimedes misalnya. Air bukanlah subyek yang berkehendak, dan karena itu ia mengikuti “nature” atau hukum alamiahnya secara sempurna tanpa penyelewengan sedikitpun. Tetapi manusia bukanlah benda alam yang nir-kehendak, bukan entitas yang pasif yang mengikuti “nature”-nya tanpa ba-bi-bu. “Nature” atau watak alamiah manusia justru pada kemampuannya untuk melakukan tawar-menawar dengan hukum-hukum alam yang tersedia di sekitar dirinya. Manusia, melalui kehendaknya, tidak sekedar tunduk pada “nature”, tetapi juga mampu melakukan negosiasi dengannya. Manusia mampu melakukan manipulasi atas “nature” dan memakainya untuk tujuan dirinya, entah tujuan yang baik atau jahat. Kaum salafis, tampaknya, dengan gagasan mereka tentang manusia sebagai hamba-pasif yang menerima saja hukum Tuhan tanpa melakukan “pertimbangan hermeneutis” atasnya, hendak menurunkan derajat manusia dari subyek-berkehendak menjadi entitas tak-berkehendak, menjadi seperti tetumbuhan atau mineral pada umumnya. Ini jelas suatu tindakan de-humanisasi, pemerosotan martabat manusia; jelas tindakan yang berlawanan dengan semangat dasar yang dikumandangkan oleh Quran sendiri tentang “kemuliaan martabat manusia” (QS 17:70).

Perkenankan saya menyinggung sedikit soal “kemuliaan martabat manusia”. Saya kira, benar apa yang dikemukakan oleh banyak ahli dan sarjana tentang sumber-sumber tradisional dari gagasan modern tentang “human dignity” atau kemuliaan manusia. Gagasan modern itu bukanlah gagasan yang sepenuhnya sekular dan tak ada kait-mengaitnya dengan sejarah pemikiran agama-agama. Selain sumber-sumber sekular dalam tradisi pencerahan sendiri, gagasan tentang kemuliaan manusia juga bersumber dari agama. Dalam Kristen dikenal konsep tentang “imago Dei”, manusia sebagai citraan Tuhan. Dalam Islam, kita kenal konsep tentang “takrim” atau pemuliaan manusia, bersumber dari penegasan dalam sebuah ayat dalam Quran: wa laqad karramna bani Adam (QS 17:70), dan Aku muliakan anak-anak Adam.

Mari kita telaah sejenak kata “karramna” itu. Kata itu berasal dari akar k-r-m yang berarti mulia. Dari kata itu, muncullah sejumlah istilah-istilah lain, seperti “karim” yang berarti “yang mulia”. Dalam Lisan al-‘Arab, leksikon Arab klasik, kata “karim” dimaknai sebagai “al-jami’ li anwa’ al-khair wa al-sharaf wa al-fadha’il,” yakni orang yang memiliki seluruh kualitas kebaikan, kemuliaan dan keluhuran. Quran sendiri tidak pernah disebut sebagai Kitab Suci (al-kitab al-muqaddas) dalam tradisi Islam, tetapi sebaliknya sebagai Kitab yang Mulia (kitab karim, QS 56:77). Nabi dan Jibril, malaikat pembawa wahyu, juga digambarkan oleh Quran sebagai “utusan yang mulia” (rasul karim, QS 69:40). Tuhan sendiri juga menggambarkan dirinya sebagai Tuhan Yang Mulia dan Maha Dermawan (rabbuk al-karim, QS 82:6). Manusia, dengan demikian, digambarkan sebagai subyek yang mulia; Tuhan menjadikannya sebagai subyek yang “karim”, yang mulia, sesuai dengan penegasan dalam ayat di atas: karramna. Kemuliaan manusia sebagai subyek tentu bukan semata-mata karena bentuk fisiknya yang sempurna (ahsan taqwim, QS 95:4), tetapi juga karena ia memiliki kehendak bebas, memiliki pikiran (QS 91:8).

Oleh karena itu, ketaatan manusia pada hukum Tuhan tidak bisa dipisahkan dari aspek yang sangat penting di atas, yakni kehendak bebas manusia. Kelemahan mendasar dalam teori hukum Islam klasik adalah tidak dimasukkannya unsur pengalaman manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang karim itu, dalam kontruksi diskursus hukum, dalam perumusan diktum-diktum legal. Pengalaman manusia sama sekali diabaikan sebagai “sub-text” yang kurang penting. Yang menarik, pengalaman manusia ini tidaklah bisa diusir sepenuhnya dari proses penafsiran teks-teks suci, meskipun secara “remsi” tidak pernah diakui. Pengalaman manusia tetap “menyelundup” diam-diam dalam perumusan hukum Islam, tanpa disadari oleh para “Muslim jurists” sendiri. Contoh terbaik adalah hukum-hukum Islam yang sejuah ini banyak mengandung elemen-elemen “misoginis”, sama sekali tak ramah pada kaum perempuan. Pengalaman perempuan sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan otonom jarang atah sama sekali tak diperhitungkan.

Saya akan mengambil suatu kasus kongkrit sebagai sebuah ilustrasi. Sekarang ini, kita sedang mengikuti perdebatan ramai sekali mengenai soal poligami dan nikah siri, yakni nikah-bawah-tangan yang tak tercatat. Sungguh menarik sekali bahwa sebagian besar kaum laki-laki dari kalangan elit agama (anda bisa menyebutnya ulama, kiai, atau ustaz) cenderung setuju pada praktek poligami dan nikah siri. Alasan “formal” yang kerap dikemukakan adalah bahwa keduanya secara eksplisit diperbolehkan oleh hukum agama. Pencatatan nikah bukanlah ketentuan yang diharuskan oleh agama. Karena itu, pencatatan nikah tidak menjadi syarat validnya sebuah pernikahan. Pertanyaan kita adalah: apakah hukum semacam itu harus kita terima sekarang ini? Apakah pengalaman perempuan tidak diperhitungkan dalam perumusan hukum ini? Kenapa hukum agama harus dimenangkan “at all cost”, seraya mengabaikan pengalaman manusia sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan berkehendak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas layak dikemukakan. Seorang Muslim yang beragama dengan sungguh-sungguh dan tidak bersiakp “burung onta”, jelas tidak bisa menolak “pertanyaan-pertanyaan kritis” yang meronta-ronta di atas. Salah satu keberatan kaum salafis terhadap cara pandang kaum khalafis adalah: jika pengalaman subyektif manusia diperhitungkan dalam konstruksi hukum, maka kita memperoleh hukum yang subyektif, hukum yang terus berubah, hukum yang tidak memberikan kepastian. Bukankah agama adalah “guidance” atau petunjuk yang mestinya harus memberikan kepastian? Hukum manusia memang boleh berubah, tetapi hukum Tuhan tidak sama sekali, demikian pandangan kaum salafis.

Apakah pandangan semacam itu dapat kita terima? Gagasan bahwa hukum Tuhan tidak berubah sama sekali jelas tidak benar. Dalam Quran sendiri ditegaskan bahwa masing-masing bangsa memiliki “hukum Tuhan” yang berbeda-beda (QS 5:48). Masing-masing epok sejarah dan generasi memiliki hukum yang pas untuk “zeit-geist”, semangat zamannya. Jika hukum Tuhan berlaku universal, tentu tak akan ada rangkaian wahyu-wahyu yang susul-menyusul dari waktu ke waktu dan membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan zamannya. Gagasan tentang “historisitas” sudah tertancap dalam konstruksi wahyu itu sendiri. Ketika berhadapan dengan manusia, Tuhan bekerja tidak lain dengan prinsip historisitas itu. Sebab, “Yang Tak Terbatas” tak bisa dikandung oleh “Yang Terbatas”, karena itu terjadilah proses “kemenyejarahan”, yakni Tuhan Yang Tak Terbatas menyejarah melalui wahyu, firman dan hukum-Nya seturut dengan batasan-batasan historis yang ada pada manusia yang serba terbatas. Bahwa masing-masing utusan Tuhan datang dengan instrumen kebahasaan yang dapat dipahami oleh lingkungan sosialnya (QS 14:4) menandakan bahwa kehendak, wahyu dan firman Tuhan memang tak bisa lain kecuali harus mengalami proses “penubuhan” dalam sejarah. Tak heran jika firman Tuhan yang sudah menubuh dalam sejarah manusia itu juga akan membawa sifat-sifat yang serba relatif, artinya terkait dengan konteks tertentu. Saat mengalami proses penubuhan itu, wahyu dan firman Tuhan juga harus mempertimbangkan pengalaman manusia yang terus berubah. Hukum Tuhan, bukan hanya hukum manusia, juga berubah. Tentu saja harus segera diberikan “caveat” di sini: bahwa tidak semua hukum Tuhan berubah; ada sejumlah hukum Tuhan yang bersifat universal, tetapi banyak diantaranya bersifat relatif dan kondisional.

Kaum salafis biasanya juga mengatakan bahwa hukum Islam mewakili Kehendak dan Firman Tuhan terakhir yang berlaku abadi, dan tidak bisa diubah-ubah lagi. Hukum Islam adalah The Last Law. Sementara Nabi Muhammad adalah The Last Prophet yang membawa kebenaran terbesar terakhir dalam sejarah manusia. Quran sendiri juga dianggap sebagai The Last Revelation, Wahyu dan Penyingkapan Terakhir yang menjadi kata-pamungkas untuk seluruh kebenaran. Kalau kita telaah gagasan ini, tampak sekali bahwa asumsi yang mendasarinya adalah semacam cara berpikir “yang nomor paling akhir adalah yang terbaik”. Apakah benar, yang paling akhir adalah yang terbaik? Bukankah dalam bidang yang lain, umat Islam justru percaya bahwa yang akhir justru menandai kemerosotan? Bukankah Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi awal yang dekat dengan periode kenabian? Bukankah ada anggapan pula pada umat Islam bahwa makin jauh dari generasi Nabi, kemungkinan terjadi korupsi makin besar? Dengan kata lain, dalam hal ini, logika yang bekerna justru “yang nomor pertama yang tarbaik”. Kenapa ada dua logika yang bekerja secara kontradiktoris di sana? Yang satu menganggap bahwa yang nomor bontot yang paling baik, sementara yang satunya justru menganggap nomor pertama paling baik. Bagaimana mendamaikan dua logika semacam ini?

Sebagai Muslim, saya tentu tak mengingkari dogma yang ada dalam Islam bahwa Quran dan Muhammad adalah wahyu dan nabi terakhir. Tetapi, dogma semacam ini sama sekali tidak menegasikan aspek historisitas dalam wahyu dan hukum Tuhan. Setelah Quran, dalam kepercayaan umat Islam, memang tidak ada wahyu lagi. Tetapi, ada hal lain yang sangat penting, yaitu manusia sebagai subyek yang karim, yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi. Wahyu memang berhenti, tetapi akal manusia terus bekerja untuk melanjutkan tugas yang dulu pernah diemban oleh wahyu dan kenabian Muhammad. Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitan pengalamannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama. Konteks sosial yang terus berubah juga merupakan aspek lain yang tak bisa diabaikan. Hingga sekarang ini, sebagian besar umat Islam masih beredar di sekitar orbit salafisme, yaitu memahami agama dengan memberikan tekanan yang tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sementara mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia. Menurut saya, harus ada “paradigm shift”, perubahan cara pandang yang memang tidak mudah, dari pemahaman yang text-minded kepada pemahaman yang mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai subyek yang memiliki akal sehat.

Inti pemahaman keagamaan yang diajukan oleh kaum khalafis, oleh para pemikir Muslim liberal dan progresif di mana-mana, sebetulnya, adalah sederhana: yaitu pemahaman keagamaan yang masuk akal. Akal sehat adalah modal utama bagi semua orang –bagi kalangan spesialis atau awam—untuk menilai sesuatu. Sabda Nabi Muhammad yang terkenal adalah “istafti qalbaka”, mintalah “fatwa” pada hati nuranimu, pada akal sehatmu. Sebelum ditunjang oleh ayat, hadis, dan argumen yang bertakik-takik dan njlimet, kita bisa menilai apakah sebuah “fatwa” atau pandangan keagamaan tertentu masuk akal atau tidak.

Marilah kita ambil contoh yang sederhana. Di sebuah provinsi Indonesia saat ini, ada sebuah qanun atau UU yang membolehkan seorang perempuan dihentikan di tengah jalan karena berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum agama. Dalam hukum Islam yang standar, memang aturan pakaian perempuan adalah menutup seluruh tubuh selain muka dan dua telapak tangan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada hukum semacam ini, kita patut bertanya dengan akal sehat kita: kenapa perempuan diharuskan berpakaian semacam itu? Alasan yang kerap dikemukakan adalah untuk menjaga agar tak terjadi “fitnah” atau “sexual arousal”, pembangkitan syahwat. Wanita dipandang sebagai subyek pasif yang menimbulkan keguncangan pada kaum laki-laki. Perempuan adalah subyek volkanik yang bisa menimbulkan ledakan fitnah yang mengganggu kaum laki-laki. Pandangan semacam ini, secara umum mungkin bisa diterima akal. Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa perempuan yang harus menanggung “harga” dari gangguan ini. Kenapa laki-laki dibiarkan sebagai subyek yang sama sekali tak disentuh. Hukum tentang pakaian bagi perempuan dalam Islam selama ini kurang memperhitungkan pengalaman perempuan sebagai subyek otonom. Memandang bahwa perempuan adalah “sumber syahwat” yang volkanik jelas pandangan khas laki-laki yang sama sekali mengabaikan aspek-aspek yang kompleks dalam konstruksi subyek perempuan. Orang-orang yang menganggap bahwa aturan pakaian perempuan dalam Islam yang kita warisi dari era klasik dulu masih berlaku sekarang dan harus ditegakkan melalui Perda atau Qanun jelas mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi, selain mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek yang karim pula. Hukum semacam ini, tanpa melalui argumentasi yang rumit, dapat kita nilai tak masuk akal.

Dengan mengatakan hal ini, bukan berarti bahwa saya menganjurkan agar perempuan memakai pakaian apa saja sesukanya tanpa mengindahkan rasa kepantasan umum. Apa yang disebut sebagai “akal sehat” memiliki suatu “hukum imanen” tersendiri yang dapat menengarai batas-batas yang pantas dan tidak. Karena itu, hukum pakaian dalam Islam, menurut saya, bukanlah jenis pakaian tertentu yang menutup bagian-bagian badan tertentu. Kaidah pokok berpakaian dalam Islam, menurut saya, adalah kepantasan (public decency). Masing-masing masyarakat dan lingkungan budaya memiliki kaidah kepantasan masing-masing yang sesuai dengan budaya setempat.

Baru-baru ini, suatu golongan dalam Islam dimusuhi karena membawa ajaran yang berbeda mengenai kenabian, yaitu Ahmadiyah. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah, selain juga dianggap sesat dan telah keluar dari agama Islam. Anggota kelompok ini diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak. Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama (QS 2:256). Kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam. Jiwa ajaran Islam pernah dikumandangkan dengan sangat baik oleh seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat asal Inggris, yaitu Roger William, yang pernah melontarkan kata-katanya yang terkenal, “the forced worship stinks in the God’s nostril” – ibadah yang dipaksakan akan menjadi sangat busuk baunya di hidung Tuhan.

Konsep tiadanya pemaksaan mestinya berlaku secara penuh, baik secara eksternal dan internal, sehingga prinsip itu menjadi konsisten dan masuk akal. Secara eksternal dalam pengertian, tak ada paksaan untuk masuk dari luar ke dalam Islam, tak boleh ada “konversi” yang dipaksakan. Secara internal, berarti tak ada paksaan untuk masuk ke dalam golongan, mazhab, atau sekte tertentu dalam Islam setelah yang berangkutan masuk Islam. Memaksa seseorang masuk ke dalam mazhab, sekte atau paham tertentu dalam Islam sama saja menyalahi prinsip dasar tiadanya paksaan tersebut. Memaksa golongan Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran yang dianggap “benar”, atau memaksa mereka keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri, jelas berlawanan dengan prinsip tiadanya paksaan dalam agama itu.

Salah satu argumen yang kerap dikemukakan oleh kaum salafis adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat tindakan kekerasan. Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru, dalam sejarah manusia, selalu membawa keresahan dalam masyarakat. Jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alasan menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang. Gagagasan Galileo tentang heliosentrisme jelas menimbulkan kemarahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, mazhab, atau paham baru tidak diperbolehkan muncul ke permukaan dengan alasan akan menimbulkan kemarahan masyarakat, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang. Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Amin al-Khuli dari Mesir, “tu’addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharab, tsumma tushbihu ma’a al-zaman mazhaban ba ‘aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam,” suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan.

Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan kaum kulit hitam di Amerika Serikat dulu jika mereka dilarang untuk membawa gagasan tentang kesetaraan manusia, melawan praktek diskriminasi, dengan alasan, gagasan itu akan meresahkan kaum kulit putih. Jika alasan keresahan kaum kulit putih itu dibenarkan, maka orang-orang Afro-Amerika sekarang ini tak akan pernah bisa menikmati kesetaraan. Gagasan baru, seperti dikatakan oleh Amin al-Khuli di atas, memang sering meresahkan dan dimusuhi, tetapi gagasan baru itulah yang membuat “frontier” peradaban manusia terus maju.

Yang menyedihkan adalah bahwa argumen tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argumen oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan. Argumen ini ingin saya sebut sebagai “the politics of blackmailing”, politik pemerasan. Lebih tidak pantas lagi jika argumen semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat. Jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.

Keadaan yang saya anggap sebagai suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah para elit agama kita tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong agar mereka bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, tetapi justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam nasyarakat. Ini jelas seperti menyiramkan bahan bakar kepada rumput yang sudah kering. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. Sementara itu tugas pemerintah bukanlah menekankan kembali “mindset” lama, yaitu menjada ketertiban umum dengan cara menekan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membawa paham baru yang meresahkan. Tindakan pemerintah semacam ini selain berlawanan dengan kontitusi kita yang melindungi prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan, juga tidak paralel dengan prinsip dasar dalam Islam sendiri yang menampik adanya paksaan dalam agama.

Dengan cara berpikir semacam inilah, kaum Muslim khalafis, para pemikir liberal dan progresif, mencoba mendamaikan antara imperatif keimanan dan imperatif perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. Jika ada kaum Muslim yang layak disebut moderat, mereka itulah yang pantas menyandang gelar itu, sebab mereka lah yang menjaga keseimbangan antara “tradisi” dan “perubahan”, antara “ashalah” dan “hadathah”, antara otentisitas dan modernitas.

Sekian, terima kasih.

Jakarta, 2 Maret 2010
Disampaikan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Diperbarui sekitar 3 bulan yang lalu
30 orang menyukai ini.
Lihat ke-35 komentar
Catatan tentang film '2012'
Bagikan
21 November 2009 jam 20:36
Film 2012 yang digarap oleh sutradara Jerman Roland Emmerich itu sekarang menjadi kegemparan di sejumlah kota di Indonesia. Ribuan orang berduyun-duyun ke gedung bioskop untuk menyaksikannya. Pertama kali pergi bersama isteri ke gedung bioskop Cineplex 21 di Setiabudi Building, saya tidak mendapatkan tiket. Semua tiket ludes, bahkan hingga pertunjukan paling akhir selepas tengah malam. Kebetulan saat itu adalah malam Minggu.

Seminggu kemudian, saya datang kembali, tetap bersama isteri, untuk menonton film itu. Kali ini lumayan beruntung, karena akhirnya kami mendapatkan tiket. Tetapi, saya harus sedikit memendam rasa kecewa, karena hanya mendapatkan tempat duduk satu baris sebelum kursi yang paling depan. Selama film itu diputar, saya harus menonton film itu dengan sedikit mendongak. Usai menonton, leher saya terasa pegal-pegal.

Kenapa film ini mendadak menjadi kegemparan? Pertama, karena judulnya sendiri, 2012. Konon, itulah tahun yang diramalkan sebagai akhir dunia atau kiamat. Publik tentu penasaran, seperti apakah dunia kalau kiamat nanti. Kedua, ada komentar dari salah satu petinggi MUI, yaitu H. Amidhan, bahwa film ini mengandung propaganda 'agama' tertentu. Maksudnya mungkin agama Kristen (saya tidak tahu, di mana unsur propaganda Kristennya dalam film ini; Roland Emmerich jelas seorang agnostik, dan tidak peduli dengan soal kekristenan).

Bahkan ada rumor bahwa film ini akan dilarang beredar, karena dianggap tidak 'Islami'. Khawatir film ini tidak lagi beredar di pasaran, publik tak sabar untuk segera menontonnya. Sebuah media bahkan memberitakan bahwa di Bali, sejumlah penonton rela membeli tiket dengan harga dua kali lipat dari seorang calo.

Suatu kejadian yang menarik saya alami ketika saya menonton film ini Sabtu kemaren, 21/11/09, di Teater Hollywood Kartika Chandra. Saya saksikan banyak sekali ibu-ibu berjilbab yang ikut antri menonton film ini. Saya mempunyai kesan, mereka ini tampaknya bukan ibu-ibu yang masuk dalam kategori "movie goers" atau penggemar film, tetapi ibu-ibu masjid ta'lim yang mungkin baru seumur-umur menonton film. Mungkin karena mendapat kabar 'burung' bahwa film ini berkenaan tentang hari kiamat, mereka tergerak untuk menonton. Mungkin juga karena film ini dipersoalkan oleh seorang petinggi MUI, mereka jadi pensaran untuk melihatnya langsung.

Ala kulli hal, komentar "miring" H. Amidhan dari MUI itu justru menjadi "iklan gratis" bagi film itu. Mestinya, produser film 2012 harus memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Bapak Amidhan karena telah menjadi "juru iklan gratis" bagi film tersebut.

Apakah benar ini adalah film tentang hari kiamat? Jawaban saya dengan tegas: Tidak. Ini bukanlah film tentang "doomsday," atau yaum al-qiyamah, dalam istilah Islamnya. Ini adalah film tentang bencana alam, natural disaster. Selama ini, sutradara Roland Emmerich memang dikenal sebagai spesialis di bidang film-film bencana alam. Salah satu filmnya yang sering saya tonton dan tak bosan-bosan adalah "Independence Day". Fantasi Emmerich dalam film ini sungguh memukai: tentang serangan makhluk "asing" dari luar angkasa yang hendak menjajah bumi dan menghancurkan peradaban manusia.

Film Emmerich yang lain dan sangat laris adalah "The Day After Tomorrow", tentang "pendinginan global" (bukan pemanasan global) di masa yang akan datang dan kembalinya Zaman Es (Ice Age).

Sebagaimana film-film Emmerich yang lain, film 2012 mempunyai ciri khas yang sama: yaitu fantasi yang liar tentang adanya bencana alam yang maha hebat, dan usaha manusia untuk "survive" atau selamat dari bencana itu. Film 2012 berbicara tentang dislokasi atau pergeseran lempeng bumi secara global yang menimbulkan tanah longsor dan gempa bumi di sekujur bumi. Bayangkan, gempa bumi di seluruh bumi! Gempa berkekuatan rata-rata di atas 9 dalam skala richter. Akibatnya, terjadilah tsunami global berupa ombak laut yang tingginya kira-kira 1500 meter. Tak ada satupun permukaan bumi yang selamat dari hempasan tsunami ini, keculai pucuk tertinggi Gunung Himalaya.

Apakah manusia musnah karena terjangan tsunami raksasa ini? Di sinilah seluruh kisah film 2012 berpusat. Film ini, sebagaimana film-film Emmerich yang lain, berkisah tentang "ikhtiar" manusia untuk selamat dari hempasan tsunami gigantik ini. Manusia tidaklah obyek pasif berhadapan dengan alam yang sedang "mengamuk". Manusia memiliki kemampuan untuk "mengatasi" musibah alam dengan skala global.

Dalam film itu digambarkan bahwa datangnya bencana geologi global itu ternyata sudah diprediksi oleh sejumlah ilmuwan, dan suatu proyek rahasia dengan skala global yang melibatkan sebagian besar pemerintahan negara-negara besar dunia diam-diam dimulai. Yaitu membangun enam atau tujuh kapal besar yang mampu bertahan menghadapi hempasan tsunami raksasa itu. Kapal itu dibangun di sebuah tempat di daratan Cina. Ini adalah proyek yang sangat rahasia sekali. Prediksi tentang bencana global yang mengerikan itu juga sama sekali tak diberitahukan ke publik hingga detik-detik terakhir, khawatir menimbulkan kekacauan global.

Di lain pihak, film ini juga menggambarkan tentang perjuangan hidup-mati seorang penulis dari Los Angeles, Jackson Curtis (diperankan oleh John Cusack), pengarang novel yang sama sekali tak laku (hanya terbit 500 eksemplar) berjudul "Farewel Atlantis" yang juga berbicara tentang semacam bencana hebat. Perjuangan Curtis untuk selamat dari gempa dahsyat dan longsor bumi yang menghempas Los Angeles digambarkan dengan dramatis dalam film ini.

Salah satu daya tarik film ini adalah penggambaran tentang usaha untuk selamat dari situasi maut dalam hitungan detik. Siapapun tahu inilah "bumbu" dalam film-film laga Hollywood yang menjadikannya laris-manis seperti kacang goreng. Salah satu adegan dalam film ini yang membuat penonton menghela nafas adalah saat kapal induk raksasa John F. Kennedy menghantam Gedung Putih. Walaupun kita semua tahu ini adalah efek yang diciptakan melalui manipulasi komputer, tetapi adegan itu sendiri tetap memukau.

Ujung film itu jelas: Curtis, mantan isterinya dan kedua anaknya yang berjuang hidup mati untuk mencapai daratan Cina untuk naik kapal induk akhirnya berhasil. Peradaban manusia tidak musnah di tengah banjir global yang melanda seluruh permukaan bumi. Kapal induk itu membawa manusia dan sejumlah binantang untuk melanjutkan kehidupan baru paska-banjir. Misi kapal itu memang jelas: menyelamatkan spesies manusia dan peradabannya.

Barangsiapa pernah membaca kisah tentang Nabi Nuh, sebetulnya akan segara tahu bahwa kerangka film ini memang diambil dari kisah itu. Mungkin kebetulan, atau mungkin juga disengaja oleh Emmerich atau penulis senario, anak laki-laki Jackson Curtis, salah satu tokoh utama dalam film itu, bernama Noah (versi Inggris dari nama Nuh dalam bahasa Arab).

Dalam sebuah wawancara di TV, H. Amidhan dari MUI berkata bahwa film itu tidak sesuai dengan semangat Islam. Alasannya, antara lain, bahwa hari kiamat termasuk barang gaib yang tidak diketahui oleh Tuhan. Oleh karena itu visualisasi hari kiamat tidak diperbolehkan.

Saya sebetulnya tidak ingin menganggap serius pernyataan "ngawur" tokoh MUI ini. Tetapi kalau sekedar mau "uji argumen", maka saya bisa menjawabnya sebagai berikut. Pertama, ini bukanlah film tentang hari kiamat. Ini adalah film tentang bencana alam global yang dahsyat. Bencana ini tidak membuat dunia musnah dan manusia hilang dari pemukaan bumi. Kalau kita merujuk pengertian "hari kiamat" dalam nomenklatur Islam, jelas pengertian kiamat di sana adalah akhir dunia.

Dalam film ini, dunia digambarkan tidak berakhir. Dunia masih terus ada, dan manusia selamat dari hempasan tsunami global dan akhirnya menemukan kembali "dunia dan kehidupan baru" di Afrika, tepatnya di Semenanjung Ujung Harapan (di Afrika Selatan). Jadi keliru sama sekali manakala H. Amidhan dari MUI menganggap bahwa film ini adalah tentang hari kiamat.

Kedua, apakah betul visualisasi tentang hal yang gaib tidak diperbolehkan dalam Islam? Dari mana hukum itu dipeorleh oleh H. Amidhan. Dalam Quran sendiri kita jumpai banyak visualisasi yang memikat tentang hari kiamat. Salah satu penggambaran hari kiamat yang agak-agak mendekati film Emmerich ini ada dalam Surah al-Takwir (Surah no. 81). Ayat ketiga dalam Surah itu berbunyi "wa idza 'l-jibalu suyyirat", ketika gunung berjalan. Dalam film Emmerich itu, digambarkan suatu proses dislokasi geologis yang dahsyat sehingga lanskap bumi berubah total. Gunung-gunung pindah lokasi, dan peta dunia seperti disusun kembali.

Sekali lagi, tak ada larangan apapun dalam Islam untuk memvisualisasi semua hal yang gaib, terutama hari kiamat.

Ketiga, film ini, dalam pandangan saya, justru sesuai dengan semangat Islam. Film ini "mengajarkan" (tentu ini istilah yang terlalu "dramatis" untuk sebuah film yang tidak diniatkan sebagai sebuah "ajaran agama") tentang pentingnya ikhtiar dan optimisme walaupun manusia sedang dilanda bencana dahsyat yang seolah-olah di luar kekuasaan mereka. Manusia bukanlah makhluk yang tunduk saja pada "nasib", tetapi mampu berikhitiar. Dalam keadaan yang sesulit apapun, manusia tetap harus berusaha dan memiliki harapan. Bukankah ini adalah "nilai" yang justru sesuai dengan semangat "Islam", Bapak Amidhan?

Sebagai penutup, film ini sebetulnya tidak menarik dari segi cerita. Kalau mengharap kisah yang kompleks dan menarik dari film ini, siap-siaplah untuk kecewa. Film ini menarik karena efek-efek visual yang sangat mengagumkan. Fantasi tentang bencana alam yang tak pernah terpikirkan oleh kita dan efek-efek visual yang dengan cerdik dimanipulasi oleh Emmerich untuk menggambarkannya adalah salah satu daya tarik film ini.

Ala kulli hal, saya terhibur sekali dengan film ini.

Ulil Abshar Abdalla
Diperbarui sekitar 7 bulan yang lalu
24 orang menyukai ini.
Lihat ke-37 komentar
Membunuh "Tersangka" Terorisme?
Bagikan
11 Oktober 2009 jam 20:25

Membunuh "Tersangka" Terorisme?

Dengan ramainya berita para teoris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti dibunuh? Bukankah mereka belum tentu sunguh-sungguh teroris? Bukankah keputusan mereka sebagai teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan? Sebelum ada ketuk palu Pak Hakim yang memutuskan bahwa Saifuddin Jaelani, "tersangka" terorisme yang tewas Jumat (9/10) yang lalu di Ciputat, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris? Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai "tersangka."

Bukankah dalam dunia hukum kita kenal asas praduga tak bersalah yang beraku universal? Apakah polisi tidak melanggar ini saat membunuh tersangka terorisme?

Pertanyaan-pertanyaan ini sebetulnya dengan sembunyi-sembunyi sudah mengarahkan kita kepada kesimpulan tertentu: seseorang yang masih dalam status "tersangka teroris" belum atau tidak boleh dibunuh. Karena itu, tindakan Densus 88 membunuh Saifuddin Jaelani dan Syahrir salah sama sekali dari segi hukum.

Saudara-saudara sekalian yang disayangi Tuhan, kalau dibaca secara sekilas, logika atau cara berpikir di atas seolah-olah benar dan masuk akal. Mereka yang tak berpikir kritis, akan langsung "manggut-manggut" meng-iya-kan cara berpikir seperti itu. Tetapi, kalau kita mau berpikir sedikit lebih jauh, maka akan terlihat sejumlah bolong-bolong di dalamnya. Marilah kita lihat di mana-mana bolong-bolongnya itu. Saya berharap anda sabar membaca tulisan saya ini hingga tuntas.

Marilah kita ambil contoh yang sekarang sedang populer di masyarakat, yaitu pengadilan mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Sebelum ada keputusan dari pengadilan yang bersifat definitif (maksudnya sampai ke tingkat terakhir, yaitu pengadilan tingkat kasasi), maka Antasari belumlah bisa disebut bersalah melakukan tindakan melawan hukum atau kejahatan (dhi. pembunuhan). Saat polisi menangkap Antasari, itu bukanlah pertanda bahwa yang bersangkutan sudah pasti bersalah. Dia ditangkap oleh pihak aparat penegak hukum bukan karena sudah pasti bersalah, tetapi semata-mata karena akan disidik guna diajukan ke pengadilan. Asas praduga tak bersalah tak dilanggar di sini.

Keputusan salah-tidaknya yang bersangkutan akan ditentukan di Pengadilan Negeri. Jika dia tak puas dengan keputusan di tingkat pengadilan pertama, ada hak pada dia untuk mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua. Kalau masih tak puas, dia bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di sanalah keputusan hukum terakhir ditentukan.

Andaikan saja Antasari melawan saat hendak ditangkap oleh pihak kepolisian untuk tindakan penyidikan, entah dengan cara lari atau bahkan mengancam nyawa aparat, maka menurut prosedur hukum yang berlaku, pihak aparat diberikan otoritas untuk melumpuhkannya. Jika saja Antasari mengancam akan menembak polisi saat hendak ditangkap, maka polisi boleh membela diri dengan cara melumpuhkan atau --dalam situasi terdesak-- membunuh yang bersangkutan. Walaupun Antasari masih berstatus "tersangka", tetapi dia boleh ditembak, karena mengancam dan melawan aparat hukum. Ini andaian saja.

Tindakan polisi, dalam hal ini, sah secara hukum. Polisi tidak bisa disebut sebagai "membunuh" orang yang sedang dalam status "tersangka". Tujuan polisi bukanlah hendak membunuh yang bersangkutan, tetapi menangkap si tersangka untuk disidik dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan bisa saja menganggap bahwa data yang diajukan polisi dan selanjutnya jaksa untuk mendukung tuduhan atas si tersangka lemah sama sekali, sehingga yang terakhir itu dinyatakan tak bersalah.

Tentu saja istilah "tersangka" di sini tidak bisa kita maknai dalam pengertian sehari-hari kata itu. Kata "tersangka" di sini tak sama kedudukannya dengan, misalnya, sangkaan saya bahwa tetangga saya di sebelah rumah adalah maling. Seorang polisi tidak bisa sembarangan melakukan "sangkaan" dan menangkap seseorang.

Saat polisi menyangka seseorang berbuat kejahatan, dia haruslah memiliki data yang cukup, dan kemudian setelah itu dia menangkap. Seseorang juga tidak bisa ditangkap dan disidik dalam waktu yang tak terbatas. Polisi hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menyidik. Setelah lewat batas waktu itu, si tersangka haruslah dilepaskan. Mereka yang belajar hukum acara pidana, tentu paham mengenai soal ini.

Apa relevansi semua ini dengan soal pembunuhan "tersangka" teroris Saifuddin Jaelani dan Syahrir di Ciputat kemaren?

Saat menggrebek dua tersangka teroris, jelas pihak kepolisian sudah memiliki data yang cukup untuk menyangka dua orang itu sebagai teroris. Tujuan pertama polisi adalah menangkap keduanya untuk disidik dan kemudian diajukan ke pengadilan. Keputusan terakhir apakah Saifuddin Jaelani dan Syahrir benar-benar teroris atau tidak tentu ada di pengadilan.

Jika dua orang itu tak melawan saat hendak ditangkap oleh Densus 88, sudah pasti keduanya akan selamat, hidup, dan tidak dibunuh. Mereka dibunuh karena melawan aparat. Jika mereka bertindak "kooperatif" seperti dalam kasus Antasari Azhar, sudah pasti polisi tak akan membunuh mereka berdua. Membunuh bagi polisi adalah tindakan "the last resort", alternatif terakhir setelah alternatif yang lain buntu.

Dalam kasus pembunuhan dua tersangka teroris yang terakhir kemaren, kita mendapatkan informasi dari pihak Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Sukarna, bahwa dua orang itu mengancam polisi dengan cara melemparkan bom. Sesuai dengan prosedur yang berlaku, polisi berhak untuk melumpuhkan dan membunuh yang bersangkutan.

Kasus para teroris yang melawan dengan cara menyerang polisi saat mau ditangkap sudah sering kita dengar. Pertanyaan saya adalah: jika Saifuddin Jaelani, Syahrir, atau Ibrohim (aka Boim) dalam kasus penyergapan di Temanggung dulu, benar-benar merasa tidak bersalah, kenapa mereka tak menyerah saja? Kenapa mereka melawan?

Banyak teroris lain yang langsung menyerah saat ditangkap polisi, dan karena itu mereka tidak ditembak. Contoh yang baik adalah Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi -- para pelaku bom Bali pertama. Ketiganya tidak dibunuh oleh polisi, karena saat ditangkap tidak melawan dengan cara menembak balik aparat hukum. Akhirnya ketiganya dihukum mati, tetapi setelah melalui proses pengadilan.

Oleh karena itu, cara berpikir yang terselip dalam pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini tidak bisa dibenarkan. Saat membunuh Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, polisi telah melakukan langkah yang benar. Polisi tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Pertanyaan berikutnya: apakah informasi polisi bahwa tersangka teroris itu melawan saat mau ditangkap, benar? Apakah polisi tidak berbohong dalam hal ini?

Sangkaan bahwa polisi berbohong bisa saja benar. Tetapi mereka yang meragukan informasi polisi, haruslah menunjukkan bukti yang kuat. Berdasarkan itu, mereka bisa menuntut polisi ke PTUN, misalnya.

Dalam pandangan saya, informasi polisi itu benar adanya. Pertama, setiap tersangka teroris dibunuh di sebuah tempat, selalu ditemukan senjata, bom, dan amunisi lain yang siap diolah menjadi bom. Artinya, mereka memang sudah mempunyai "niat jahat" sejak awal. Kedua, dalam beberapa kasus penangkapan tersangka teroris, seperti di Temanggung, beberapa media elektronik melaporkan langsung dari lapangan, dan kita bisa melihat sendiri terjadinya baku-tembak antara polisi dan tersangka terorisme.

Ketiga, taruhlah laporan media itu kita ragukan kebenarannya. Pertanyaannya: kasus perlawanan terhadap polisi tidak hanya berlangsung di Temanggung saja, tetapi juka di Jatiasih, di Solo saat penangkapan Noordin M Top, di Batu (Malang) saat penangkapan Dr. Azahari, dan terakhir di Ciputat kemaren. Ratusan (kalau malah tak ribuan) orang di sekitar perumahan Dr. Azahari di Batu menyaksikan terjadinya baku-tembak antara dia dan polisi, sebab penangkanpan ketika itu berangsung pada waktu siang hari, dan karena itu banyak yang menonton.

Dengan kata lain, ada pola yang berlangsung dengan konsisten di sini: tersangka terorisme itu membawa senjata saat mau ditangkap dan melawan. Sekali lagi, tidak semua tersangka terorisme melawan saat ditangkap. Tetapi yang melawan jelas ada, dan kasusnya berlangsung berkali-kali. Artinya, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tanpa bukti empiris.

Memang banyak yang tak suka pada Densus 88 karena mereka bertindak tegas dan keras pada pelaku terorisme. Mereka yang tak suka ini bisa digolongkan ke dalam dua kategori.

Pertama, mereka yang memang memiliki "concern atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, sehingga mereka was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil. Saya tidak punya keberatan apapun terhadap kelompok pertama ini. Kritik-kritik mereka dalam soal penanganan terorisme perlu didengar oleh pemerintah.

Kedua, mereka yang sebetunya dari awal setuju dengan ideologi, doktrin, dan ajaran para pelaku terorisme itu, atau lebih spesifik ajaran jihad ala Abu Bakar Ba'asyir. Mereka ini menunggangi isu HAM untuk menyembunyikan simpati dan dukungan mereka terhadap ideologi terorisme. Inilah "musang berbulu ayam" yang harus diwaspadai!

Semoga tulisan ini bermanfaat. In uridu illa 'l-islah wa taufiqi illa bi l-Lah.

Ulil Abshar Abdalla

No comments:

Post a Comment